Sabtu, 28 November 2009

M@h3s@......89' S3L@luuuU......: Ketika kita lupa akan sifat Nabi......

M@h3s@......89' S3L@luuuU......: Ketika kita lupa akan sifat Nabi......




MENIKAH DAN DAKWAH

By: Gusti n' friend

Semestinya pernikahan kita pahami melalui tiga pendekatan: pendekatan fitrah, fikih dan dakwah.

Pendekatan Fitrah

Pendekatan fitrah menegaskan kepada kita bahwa pernikahan adalah sebuah proses alami (sunatullah) atas segala makhluknya. Allah menciptakan makhluk-Nya dalam kondisi berpasangan.

Allah telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sangat indah, dan untuk mereka Allah menciptakan pasangannya. Secara naluriah, manusia akan memiliki ketertarikan kepada lawan jenis. Ada sesuatu yang amat kuat menarik, sehingga laki-laki dengan dorongan naluriah dan fitrahnya mendekati perempuan. Sebaliknya, perempuan merasakan kesenangan tatkala didekati laki-laki.

Fitah ketertarikan terhadap lawan jenis ini tidak akan bisa dibunuh atau dimampatkan dengan cara apapun. Akan tetapi kebebasan penyaluran dan pengekspresiannya tanpa kendali juga menjerumuskan manusia kepada sifat kebinatangan bahkan kesetanan.

Maka pernikahanlah jalan tengah yang dihadirkan Islam sebagai solusi. Islam tidak mengakui prinsip hidup membujang (tabattul), bahkan walaupun untuk alasan menyucikan diri dan demi mendekatkan diri secara total hanya kepada Allah. Dan Rasulullah saw pun menegaskan bahwa nikah adalah bagian dari sunnah (ajaran) beliau.

Pendekatan Fikih

Islam adalah sistem (syari’at) sempurna yang mengatur segala urusan kehidupan manusia demi menghadirkan kebaikan dan kebahagiaan bagi mereka. Islam membimbing manusia dalam segala aspek baik keberadaannya secara individu maupun sosial. Perbaikan individu, pembinaan keluarga, pengarahan komunitas masyarakat serta pengkondisian manasia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi konsen syari’at Islam.

Keluarga adalah basis kekuatan masyarakat. Baik buruknya sebuah masyarakat bermula dari baik-buruknya keluaraga-keluarga yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks ini Islam memberikan aturan dan bimbingan bagi setiap muslim dalam membentuk keluarga. Islam menjelaskan dengan begitu detail dan rinci mulai dari bagaimana prosedur pernikahan, kriteria calon suami atau istri, akad dan pesta pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, aturan dalam berpoligami, perceraian beserta syarat-syaratnya, hak-hak anak dalam keluarga, perasaan solidaritas sesama anggota keluaraga, dan sebagainya. Semua aturan tersebut menjadi acuan bagi setiap muslim dalam menajalani pernikahan dan pembinaan keluarga.

(Secara detail tentang aturan-aturan Islam terkait pernikahan dan kehidupan keluarga silahkan merujuk kepada buku-buku fikih yang ada)

Pendekatan Dakwah

Setiap muslim adalah dai. Kita dituntut merealisasikan dakwah dalam seluruh kehidupan kita. Setiap langkah kita sesunguhnya adalah dakwah kepada Allah, sebab dengan itulah Islam terkabarkan kepada umat manusia, serta dengan itulah rahmat Islam tersebar ke seluruh alam. Bukankah dakwah bermakna mengajak manusia merealisasikan ajaran-ajaran Allah dalam kehidupan keseharian? Sudah selayaknya kita sebagai pelaku yang menunaikan pertama kali dan memberi contoh kepada yang lain.

Pernikahan akan bernilai dakwah apabila dilaksanakan sesuai dengan tuntunan (fikih) Islam di satu sisi, dan menimbang bebagai kemashlahatan dakwah dalam setiap langkahnya, pada sisi yang lain. Dalam memilih jodoh, dipikirkan kriteria pasangan hidup yang bernilai optimal bagi dakwah. Dalam menentukan siapa calon jodoh tersebut, dipertimbangkan pula kemashlahatan secara lebih luas, tidak hanya kemashlahatan pribadi tetapi juga keluarga, masyarakat dan dakwah secara keseluruhan.

[Maraji’: Cahyadi Takariawan, "Di Jalan Dakwah Aku Menikah"]








Ketika kita lupa akan sifat Nabi......

BAITI JANNATI

Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh… betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop ini rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin nggak ketulungan. “Ummi… Ummi, kapan kau dapat memasak dengan benar…? Selalu saja, kalau tak keasinan…kemanisan, kalau tak keaseman… ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.”Sabar bi…, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul…? ” ucap isteriku kalem. “Iya… tapi abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini…!” Jawabku dengan nada tinggi. Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya sudah merebak.

***

Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan ‘baiti jannati’ di rumahku. Namun apa yang terjadi…? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal burak (pecah). Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta pora di dapur, dan cucian… ouw… berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan detergen tapi tak juga dicuci.

Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. “Ummi…ummi, bagaimana abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini…?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihat itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah…?” Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah…wanita gampang sekali untuk menangis…,” batinku berkata dalam hati. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihat…? Isteri shalihat itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai dipipinya. “Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja untuk jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.

***


Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku. “Aduh, Mi… abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku. “Ya sudah, kalau abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku. “Lho, kok bilang gitu…?” selaku. “Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam bus dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi. “Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan. Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai.

Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. “Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin sendiri. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Dug! Hati ini menjadi luruh. “Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus. “Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku. “Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar.

Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berbaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri. Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku.

Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Sedang aku..? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku…? terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terdzalim!!! “Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berbaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia. “Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini. “Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.

***


Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus. Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku…?
Semoga berguna bagi kita semua….amin ya rabbal alamien

Wassalam.

Catatan 'Yuliardi Budiawan: samara





Madrasah Cinta

Apa yang paling dinanti seorang wanita yang baru saja menikah? Sudah pasti jawabannya adalah kehamilan. Seberapa jauh pun jalan yang harus ditempuh, seberat apa pun langkah yang mesti diayun, seberapa lama pun waktu yang kan dijalani, tak kenal menyerah demi mendapatkan satu kepastian dari seorang bidan; "positif".


Meski berat, tak ada yang membuatnya mampu bertahan hidup kecuali benih dalam kandungannya. Menangis, tertawa, sedih dan bahagia tak berbeda baginya, karena ia lebih mementingkan apa yang dirasa si kecil di perutnya. Seringkali ia bertanya; menangiskah ia? Tertawakah ia? Sedih atau bahagiakah ia di dalam sana? Bahkan ketika waktunya tiba, tak ada yang mampu menandingi cinta yang pernah diberikannya, ketika mati pun akan dipertaruhkannya asalkan generasi penerusnya itu bisa terlahir ke dunia. Rasa sakit pun sirna sekejap mendengar tangisan pertama si buah hati, tak peduli darah dan keringat yang terus bercucuran. Detik itu, sebuah episode cinta baru saja berputar.


Tak ada yang lebih membanggakan untuk diperbincangkan selain anak-anak. Tak satu pun tema yang paling menarik untuk didiskusikan bersama rekan sekerja, teman sejawat, kerabat maupun keluarga, kecuali anak-anak. Si kecil baru saja berucap "Ma..." segera ia mengangkat telepon untuk mengabarkan ke semua yang ada didaftar telepon. Saat baru pertama berdiri, ia pun berteriak histeris, antara haru, bangga dan sedikit takut si kecil terjatuh dan luka. Hari pertama sekolah adalah saat pertama kali matanya menyaksikan langkah awal kesuksesannya. Meskipun disaat yang sama, pikirannya terus menerawang dan bibirnya tak lepas berdoa, berharap sang suami tak terhenti rezekinya. Agar langkah kaki kecil itu pun tak terhenti di tengah jalan.


"Demi anak", "Untuk anak", menjadi alasan utama ketika ia berada di pasar berbelanja keperluan si kecil. Saat ia berada di pesta seorang kerabat atau keluarga dan membungkus beberapa potong makanan dalam tissue. Ia selalu mengingat anaknya dalam setiap suapan nasinya, setiap gigitan kuenya, setiap kali hendak berbelanja baju untuknya. Tak jarang, ia urung membeli baju untuknya dan berganti mengambil baju untuk anak. Padahal, baru kemarin sore ia membeli baju si kecil. Meski pun, terkadang ia harus berhutang. Lagi-lagi atas satu alasan, demi anak.


Disaat pusing pikirannya mengatur keuangan yang serba terbatas, periksalah catatannya. Di kertas kecil itu tertulis: 1. Uang sekolah anak, 2. Beli susu anak, ... nomor urut selanjutnya baru kebutuhan yang lain. Tapi jelas di situ, kebutuhan anak senantiasa menjadi prioritasnya. Bahkan, tak ada beras di rumah pun tak mengapa, asalkan susu si kecil tetap terbeli. Takkan dibiarkan si kecil menangis, apa pun akan dilakukan agar senyum dan tawa riangnya tetap terdengar.


Ia menjadi guru yang tak pernah digaji, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai, dan menjadi babby sitter yang paling setia. Sesekali ia menjelma menjadi puteri salju yang bernyanyi merdu menunggu suntingan sang pangeran. Keesokannya ia rela menjadi kuda yang meringkik, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu. Atau ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik. Namun, si kecil belum juga terpejam dan memintanya menceritakan dongeng ke sekian. Dalam kantuknya, ia terus pun mendongeng.


Tak ada yang dilakukannya di setiap pagi sebelum menyiapkan sarapan anak-anak yang akan berangkat ke kampus. Tak satu pun yang paling ditunggu kepulangannya selain suami dan anak-anak tercinta. Serta merta kalimat, "sudah makan belum?" tak lupa terlontar saat baru saja memasuki rumah. Tak peduli meski si kecil yang dulu kerap ia timang dalam dekapannya itu sudah menjadi orang dewasa yang bisa membeli makan siangnya sendiri di kampus.


Hari ketika si anak yang telah dewasa itu mampu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya, untuk menentukan jalan hidup bersama pasangannya, siapa yang paling menangis? Siapa yang lebih dulu menitikkan air mata? Lihatlah sudut matanya, telah menjadi samudera air mata dalam sekejap. Langkah beratnya ikhlas mengantar buah hatinya ke kursi pelaminan. ia menangis melihat anaknya tersenyum bahagia dibalut gaun pengantin. Di saat itu, ia pun sadar buah hati yang bertahun-tahun menjadi kubangan curahan cintanya itu tak lagi hanya miliknya. Ada satu hati lagi yang tertambat, yang dalam harapnya ia berlirih, "Masihkah kau anakku?"


Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya, "bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian". Tak hanya itu, imam shalat jenazah pun ia meminta dari salah satu anaknya. "Agar tak percuma ibu mendidik kalian menjadi anak yang shalih sejak kecil," ujarnya.


Duh ibu, semoga saya bisa menjawab pintamu itu kelak. Bagaimana mungkin saya tak ingin memenuhi pinta itu? Sejak saya kecil ibu telah mengajarkan arti cinta sebenarnya. Ibu lah madrasah cinta saya, sekolah yang hanya punya satu mata pelajaran: cinta. Sekolah yang hanya ada satu guru: pecinta. Sekolah yang semua murid-muridnya diberi satu nama: yang dicinta.


Bayu Gawtama
Pecinta yang dicinta




Rabu, 21 Oktober 2009

RAJA DENGAN TAHTA MAYA

By: GUSTI


Sepasang ufuk timur tak jua muncul diperadapan jiwa
Sepintas pikiran ini merujuk pada indahnya pelangi
yang sekejap kau tunjukkan padaku,
Waktu itu.......

Ku coba bentangkan sayap...
Menatap langit lepas
Meraba terus kedalam, dalamnya hati



Aku mencoba meramal diri
Dengan mimpi-mimpi
Mimpi yang memaksa diri untuk terus merogoh hingga dasrnya...

Ada tanda,
dia datang berkali-kali...

Mata itu....
Mata yang selama ini aku cari
Mata yang mampu membuat ku damai dengan segala kata-katanya....

Senyum itu....
Senyum yang selalu membuatku terjaga...
Senyum yang selalu membuatku merasa memilikinya...

"Memilikinya????
Tidak mungkin!!!!"

Mengapa hatiku merongrong hampa?
Menertawakan bayanganku sendiri?
Memaki-maki kebesaran khayalku ini...

Tak ada yang salah ku kira....
Kehampaan ini hanyalah sebuah kerajaan khayal yang membuatnya sebagai sugesti...
Sugesti yang terus merongrong hati ini...
Untuk mencapainya....

Kembali aku dalam pangkuan ini....
Pangkuan mimpi dirinya...

Aku....
Aku ingin menjadi sejuk,
Ketika hati ini berusaha menjadi telaga untuk seseorang
yang ku ingin.....
Menghangatkan dengan canda...
Sejenak bahagiakan,
Tapi tetap, aku tak ingin memecah tumpu yang dia pakai
untuk mencari rusuknya

Aku hanya ingin kau ada di setiap ceritaku
Menjadi udara dalam balon kehidupanku
Tanpa aku pinta....

Aku selalu ingin menjadi sejuk,
Ketika hati ini berusaha menjadi sandaran keluh kesahmu...
Sempat mendayu-dayu suaraku, untuk yakinkan hatimu
Agar kau selalu merasa damai bersamaku...

Aku hanya ingin kau selalu ada....
Seperti balon yang selalu butuh udara,
Seperti novel yang selalu butuh cerita,
Seperti bumi yang selalu butuh matahari...
Dan seperti aku yang selalu butuh kamu....


Acccchhhhh.....
Udara ini semakin sesak ku jamah...
Waktu ini semakin bingung ku genggam....
Miris terasa....
Aku tak tau apa yang ku pijak, apa yang ku tunggu....
dia tak ada....
dia hanya mampu menjadi Raja dengan Tahta Maya dalam pikiranku....

Aku ingin dia nyata,
Dan dalam kenyataan yang fana ini aku hanya dapat berdoa....



Tuhan....
Aku memohon kepadaMU
Semoga Engkau berkenan menjadikan aku
sebagai alat untuk membahagiakan dia,
Sebagai alat untuk menjaganya,
Sebagai alat untuk mengurusnya,
Sebagai alat untuk mengusap air liurnya saat dia sakit,
Sebagai alat untuk menghapus kesedihannya,
Serta sebagai alat untuk menerima keramahan dan kemarahannya.....

Amien.....

Kamis, 10 September 2009

KANGEN

by : WS. Rendra


Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna luka telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.






Senin, 24 Agustus 2009

JENUH!!

By : gusti n' Fatim



Saat berkumpul di kantin kantor, waktu istirahat makan siang………
Diantara teman-temanku, yang mendengarkan celotehanku, hanya dia yang paling antusias mendengarkan. Saat terik tepat berada di atas kepalaku, dia mau berkeringat demi aku. Saat aku butuh, dia ada untukku. Aku sering memergokinya diam-diam memperhatikan tingkah polaku…
Semua aku pendam sendiri. Tak ku biarkan mulutku bercerita pada yang lain. seandainya dia merasakan apa yang aku rasakan?, TIDAK! Aku tak boleh merasakan apa-apa… aku tau cicin cantik tlah melingkar di jari manisnya. Aku tak bisa menggambarkan apa yang menarik darinya, apa kelebihannya, apa pula yang membuatku kagum padanya. Cesa, teman-teman kantor biasa memanggilku, kependekan dari nama panjangku Cecilia Sahab.
Tadi sepulang dari kantor, untuk pertama kalinya aku berada dekat dibalik punggungnya, untuk pertama kalinya aku ikut merasakan bagaimana dia mengatur kecepatan kemudi motornya. Tak ada suara, baik aku atau dia.
Hmm… aku terus menarik nafas. Aku berharap, semoga dia tak merasakan detak yang terus berlomba saat aku berada di dekatnya.





***
11.15, saat-saat yang paling ditunggu para karyawan kantor, waktu shalat dhuhur dan saatnya mengisi perut setelah setengah hari menguras tenaga demi upah yang tak seberapa. Kantin kantor saat ini sepi. Seli yang biasa menemaniku, hari ini bolos kerja.
“ siang mbak Cesa!!!” sapa satpam kantor yang sedang menyantap semangkuk bakso di kantin kantor.
“ siang…” balasku.
“ sendiri aja?, yang lain mana?” sapa satpam yang lain. Satpam di kantorku kan banyak, jadi aku gak bisa ngenali satu persatu, yang aku kenal hanya Pak Jono, karena beliau satpam senior di kantor ini.
“ lagi pada shalat kali pak!” jawabku.
Aku mamilih tempat dekat jendela, kali ini aku sendiri. Seperti biasa, frestea dingin selalu menemani istirahat siangku.
“ hi…. Cesa!”
“ Dimas……?!”
Laki-laki yang akhir-akhir ini menyita perhatianku sekarang duduk tepat di hadapanku. CESA TENANG!!. Seruku dalam hati. Kulirik cincin di jari manisnya.
“ kenapa?” Tanya Dimas.
“ mmm… gak pa-pa”
Aduhhhh…. Kenapa mesti gugup kayak gini sich?. Cesa, dia yang sering perhatiin kamu, dia yang sering meninggalkan meja kerjanya hanya untuk sekedar menyapamu, dia yang sering menawarkan untuk mengantarmu pulang. Harusnya bukan Cesa yang gugup, tapi dia.
“ kapan?” entah dari mana tiba-tiba muncul pertanyaan aneh dari mulutku.
“ kapan? Maksudnya?” Tanya Dimas tak mengerti.
“ tuh…” jawaku sambil menunjuk jari manisnya.
“ ooh… belum, ngumpulin duit dulu” jawabnya tersenyum.
“ udah lama?”
“ 2 tahun”
“ temen kuliah?”
Dimas menggeleng…
“ tetangga?”
Kembali menggeleng…
“ trus?”
“ temen TK!”
Hahahahaha…..kita terbahak tanpa memperhatikan kantin yang mulai ramai.
“ serius? Jangan becanda ach!” tanyaku.
“ yap!”
-waktu istirahat selesai-
Aku tetap merasakan perbedaan. Walaupun tak ada yang special, sifat jail yang dia punya terus menghinoptisku.
***
Lama-lama aku jenuh dengan perasaan indah ini. Indah yang ku rasakan tak kunjung temukan jawaba, aku tak boleh lengah, harap ini harus segera ku hilangkan.




***
Kini, dijari manisku tlah melingkar pula cincin pemberian Noe. Laki-laki yang baru aku kenal 5 bulan yang lalu. Singkat memang, tapi dia berani berikan kepastian bahwa akulah wanita pilihan yang akan mendampingi sisa hidupnya.
9 September kami pilih sebagai hari dimana Noe akan membacakan ijab sembari menjabat tangan papa. Dan hari itu pula aku mendapat kabar, Dimas juga mengucap ijab, untuk mempersunting teman semasa TKnya.

Senin, 27 Juli 2009

rangkuman

==Frasa Endosentris Atributif ==
yaitu frasa endosentris yang disamping mempunyai unsur pusat juga
mempunyai unsur yang termasuk atribut. Atribut adalah bagian frasa yang
bukan unsur pusat, tapi menerangkan unsur pusat untuk membentuk frasa
yang bersangkutan.
Contoh:




# pembangunan lima tahun
# sekolah Inpres
# buku baru
# orang itu
# malam ini
# sedang belajar
# sangat bahagia.
Kata-kata yang dicetak miring dalam frasa-frasa di atasseperti adalah
unsur pusat, sedangkan kata-kata yang tidak dicetak miring adalah
atributnya.




== Frasa Endosentris Apositif ==

yaitu frasa endosentris yang semua unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang sama. Unsur pusat yang satu sebagai aposisi bagi unsur pusat yang lain.

Contoh:

Ahmad, anak Pak Sastro, sedang belajar.

Ahmad, ... sedang belajar.

... anak Pak Sastro sedang belajar.

Unsur ‘Ahmad’ merupakan unsur pusat, sedangkan unsur ‘anak Pak Sastro’ merupakan aposisi. Contoh lain:

# Yogya, kota pelajar
# Indonesia, tanah airku
# Bapak SBY, Presiden RI
# Mamad, temanku.

Frasa yang hanya terdiri atas satu kata tidak dapat dimasukkan ke dalalm frasa endosentris koordinatif, atributif, dan apositif, karena dasar pemilahan ketiganya adalah hubungan gramatik antara unsur yang satu dengan unsur yang lain. Jika diberi aposisi, menjadi frasa endosentris apositif. Jika diberi atribut, menjadi frasa endosentris atributif. Jika diberi unsur frasa yang kedudukannya sama, menjadi frasa endosentris koordinatif

{{bahasa-stub}}

[[Kategori:Frasa]]
[[Kategori:Bah[[Kategori:Frasa]]
[[Kategori:Bahasa]]





== Frasa Endosentris Koordinatif ==
yaitu frasa endosentris yang semua unsurnya adalah unsur pusat dan mengacu pada hal yang berbeda diantara unsurnya terdapat (dapat diberi) ‘dan’ atau ‘atau’.

Contoh:
# rumah pekarangan
# suami istri dua tiga (hari)
#ayah ibu
# pembinaan dan pembangunan
# pembangunan dan pembaharuan
# belajar atau bekerja.


Jumat, 17 Juli 2009

Elite Hanya Jual Slogan

Slogan “Pro Rakyat”, “Lanjutkan”, dan “Lebih Cepat Lebih Baik” menjadi primadona pembicaraan masyarakat. Bahkan,
obrolan di warung kopi dan tidak pernah absen di media massa.
Selain gampang diingat, slogan-slogan politik itu menjelaskan ideologi para capres dan wacapres. Setiap slogan ada
makna konotasinya. Slogan itu janji. Janji terikat pada etika/moral. Karenanya, jangan percaya pada orang yang pernah
mengingkari janjinya. Slogan “Pro Rakyat” mengandung arti dahulukan kepentingan rakyat kecil.




Kata “Lanjutkan” bernada perintah halus. Kata “lanjutkan” bisa juga berarti mempertahankan keadaan yang sudah ada
(status quo) daripada perubahan. Sedangkan “Lebih cepat lebih baik” mengandung makna perubahan.
Kata perubahan dan reformasi dapat dipertukarkan walau kedua kata itu bisa berbeda. Reformasi suatu proses
penataan kembali kelembagaan secara tertib dan damai atas ketidakwajaran, ketidaksempurnaan, atau keusangan.
Slogan politik paling pas, jika ada kata perubahan, sesuai dengan kondisi bangsa ini.
Tanpa perubahan, siapa pun pemerintah baru nanti akan menghadapi banyak perlawanan dari rakyat banyak. Seperti
Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto diturunkan secara paksa, lantaran tuntutan perubahan, bukan disebabkan
keterpurukan ekonomi semata-mata.
Jadi, slogan yang baik, tepat sasaran. Terutama animo masyarakat untuk mengharapkan perubahan, amat kuat. Kalau
berbagai tuntutan perubahan dapat dituntaskan, persoalan stabilitas dengan sendirinya mampu ditangani.
Harrison Papande Siregar
Mahasiswa UI, FISIP-Administrasi Negara.
Generated: Seperti dugaan komunitas organisasi non pemerintah (Ornop), debat Capres semalam miskin dalam memahami persoalan lingkungan hidup dan sumber daya alam, konflik agraria dan penggusuran di perkotaan serta relasinya dengan pengentasan kemiskinan dan pengangguran.
“Ketiganya hanya lebih pada eksploitasi sumber daya alam untuk memenuhi ekonomi tanpa memperhatikan daya dukungnya,” jelas Muhammad Chalid dari Institut Hijau Indonesia, salah satu anggota Komunitas Ornop, kepada wartawan di Jakarta (27/6).
Bila itu terjadi terus menerus menurutnya, maka bencanalah yang akan terjadi dan menimbulkan banyak korban. Akibatnya akan memperparah kemiskinan dan pengganguran.
Pada akhir 2014 kemiskinan akan meningkat drastis karena penurunan sumber daya alam, peningkatan bencana alam dan ruwetnya perekonomian global. “Sebelum masa berakhirnya MDGs pada 2015, kemiskinan bertambah menjadi 30% dari jumlah penduduk ini,” jelas Chalid lagi.
Dalam debat semalam, ketiga Capres tidak mengungkap tentang pelestarian hutan dalam upaya mengentaskan kemiskinan dan menyelesaikan masalaha perekonomian. Padahal bila itu menjadi upaya Presiden terpilih nanti, menurut Chalid bisa menjadi solusi pengentasan kemiskinan dan penganguran. Upaya pelestarian hutan bisa menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar masyarakat terutama seputar hutan dan bisa meningkatkan pendapatannya.
Apa yang ditawarkan ketiga Capres tidak berbeda jauh dengan masa Orde Baru. Sejak jaman Soeharto itu, pertumbuhan ekonomi menjadi ukuran satu-satunya kesejahteraan warganegara dan perekonomian Indonesia. Investasi swasta telah lama menjadi tumpuan pemicu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kenyataannya terbukti gagal melepaskan bangsa ini dari belenggu kemiskinan dan ketidakadilan.
Menurut Don Marut sebagai Direktur Eksekutif International NGO Forum Indonesia Development (INFID) di saat yang sama, tim ekonomi Capres SBY sama dengan masa Orde Baru, maju mundur dan tidak stabil. Para teknokrat itu menempatkan rem yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi tidak maju. Semua menteri dalam tim ekonomi pernah bekerja di Bank Dunia dan IMF sehingga kebijakannya sama dengan kedua lembaga itu.
Begitupun tim ekonomi Mega saat menjabat sebagai Presiden dulu yang bersifat neoliberal juga, tidak bisa menggunakan sifat nasionalisnya dalam menjalankan perekonomian. Hal yang sama akan terjadi pada JK jika tim ekonominya sama dengan kedua Capres lainnya. Hanya akan terjebak pada slogan-slogan semata.
Setidaknya kegagalan ini terlihat dari tolal stok hutang dalam dan luar negeri per 31 Oktober 2008 yang sudah mencapai 1,606 triliun rupiah. Menurut data yang dihimpun Komunitas Ornop yang terdiri dari berbagai ornop di Indonesia, hutang ini meningkat tajam dibanding 2005 yang berjumlah 1,268 triliun rupiah. Bahkan pinjaman luar negeri yang jatuh tempo tahun 2009 sebesar 6.514 miliar dolar atau hampir tiga kali lipat jumlah tahun lalu.
Hutang menjadi strategi generik dan konservatif yang dikelola melalui mekanisme pasar dan telah membuat ketergantungan makin mencekik. Akibatnya terjadi privatisasi dan liberalisasi di berbagai sektor terutama pendidikan, kesehatan, pangan dan energi terus berjalan. Hutang adalah salah satu sumber pemiskinan yang tidak mampu diteropong ketiga Capres dalam debat semalam.
Tak satupun Capres yang berani menyampaikan gagasan pengentasan kemiskinan dengan mengurus desa sebagai akar masalah dan solusi yang ditawarkan. Apalagi menempatkan usaha-usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan rakyat sebagai solusi utama keluar dari kemiskinan. Upaya-upaya itu mensyaratkan dilakukannya Reforma Agraria serta pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan.
Padahal menurut Don Marut, rakyat Indonesia yang sebagai besar hidup di desa mempunyai daya tahan dalam menghadapi krisis. Dengan segala kegiatannya dalam pertanian dan pengelolaan sumber daya alam telah terbukti memberi penghidupan bagi mereka. Namun ketiga Capres hanya menjadikan sumber daya alam hanya sebagai alat tukar semata untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.
“Yang penting jangan mengganggu daya tahan rakyat dengan mencaplok lahan, privatisasi air dan irigasi, membebani rakyat dengan biaya tinggi dengan memungut bermacam iuran dalam pemanfaatannya dan sebagainya,” ungkap Don Marut.
Rakyat Indonesia tahu bahwa sumber daya alam baik laut maupun darat memiliki makna yang cukup luas dalam kesehariannya sebagai modal ekonomi keluarga, sebagai media sosial dan pengembangan budaya. Dalam hal ini memandang sumber daya alam secara kolektif sebagai identitas bangsa.


Dari tiga putaran debat capres yang selalu saya ikuti, baru yang terakhir kemaren saya kategorikan seru! Emang benar sih apa yang ditampilkan oleh ketiga capres tidak mewakili arti kata DEBAT sebenarnya. Tidak ada silang pendapat yang ekstrim. Semua Capres masih memegang etika ketimuran. Makanya jangan bandingkan dengan debat yang dilakukan di negara-negara lainnya, seperti di US antara Obama dan Mc Cain. Sopan, Jaim dan sibuk menjaga omongan dengan terus melontarkan misi visi ke depan.

Semalam cukup surprise ketika sudah mulai ada "sedikit" pertentangan antara capres. Setiap capres dengan karakternya masing-masing mulai saling sindir. Saling melontarkan isu yang bisa melemahkan posisi lawan. Beberapa disampaikan serius, keras, tegas dan berkobar-kobar, tapi ada juga yang disampaikan secara ringan, simple dengan nada bercanda yang langsung mengundang senyum bahkan tawa para penonton. Dinamikanya ada jadi tidak monoton.

Yang lebih seru lagi adalah analisa para pengamat di stasiun-stasiun TV setelah acara ini berlangsung. Mulai dari Jubir tim sukses tiap kandidat, Pengamat politik bahkan sampai tim akademisi pun ikut membahas detil jalannya debat capres itu.

Di Metro TV, pengamat Akademisi memberikan nilai lebih pada JK secara keseluruhan. Penguasaan materi, logis poin yang disampaikan dan juga Gesture di rebut dengan pasti oleh JK.

Di TVOne, perdebatan sengit justru terjadi. Tidak hanya di kubu Jubir tapi juga antara pengamat politik. Belum lagi moderator nya juga mahir "memanas-manasi" mereka. Secara tersirat, mereka juga setuju bahwa bintang malam itu adalah JK. Kelugasan dan kepolosan apa adanya menjadi poin penting JK untuk menarik minat masyarakat memilihnya.

Meski secara Polling SMS, SBY jauh mengungguli dua kandidat lainnya. SBY memang selalu tampil sistematis. Penggunaan waktu yang optimal terlihat jelas di setiap sesi. Sementara Megawati juga ga mau kalah dari kandidat pria lainnya. Dia terus membakar masyarakat dengan terus mengumandangkan slogan PRO RAKYATnya.

Jujur saya pribadi, JK malam itu tampil cemerlang. All out dan berkobar. I can't take my eyes of him. Really! Sampe sempet nyelutuk "Dapat tenaga dari mana Pak JK ya?" Hanya beliau yang punya dinamika bicara yang paling hidup. Kadang pelan, tapi tidak jarang meletup berkobar. Serius tapi sesekali melontarkan statement yang mengundang senyum dan tawa. Membuat suasana jadi hidup dan ga membosankan. He's so really ice breaker last night! Sementara kandidat lainnya datar.




Tapi siapapun kelak yang jadi Presiden, pemimpin negara kita tercinta ini, berarti telah menarik simpati masyarakat Indonesia, sehingga mau memilih mereka. Yang jelas jangan lupakan janji, jangan mengabaikan amanah seluruh rakyat Indonesia, Terus berjuang untuk Indonesia tercinta!

Ayo kita sukseskan Pilpres 2009. Kita dukung jagoan kita masing-masing. Tidak ada anarki, karena siapapun itu, pastilah yang terbaik.

PUSPA, KHAYALKU!

By: Gusti

Sahabat-sahabatku sedang sibuk merencanakan beberapa acara untuk persiapan pernikahanku minggu depan. Antusiasnya mereka. Arind, Dika, Aka dan Bayu, jadi lebih sering kerumah ku, untuk mendiskusikan semuanya bersama orang tua ku. Mereka sudahku anggap saudara sendiri. Bangganya memiliki sahabat seperti mereka.

“Gus, kalo menurutku yo, enak’e dirimu pake’ konsep garden party aja. Gak usah ada kowade. Jadi, kabeh bersifat minimalis dan......”kata Arind.
“Bener gus, kamu kan pengennya yang sederhana tapi berkesan.”potong Aka.
“Terserah kalian ajalah. Aku terima beresnya.”kata ku
“Ok bos, tenang aja. Di tangan kita, semuanya pasti beres.”kata mereka kompak.

“Terima kasih nak, kamu berulang kali dapat membahagiakan hati orang tua mu ini.”kata mama dengan wajah yang berbinar.
“Maafin papa yang sedikit keras soal pernikahanmu ini nak. Papa dan papanya Nadya teman akrab sejak SD. Waktu kami lulus kuliah, kami pernah berjanji untuk mempererat tali silaturrahmi ini dengan menjodohkan anak kami jika berlainan jenis. Dan janji itu dapat kami penuhi hari ini, dengan cara menikahkan kamu dengan Nadya. Papa ucapin terima kasih, papa bangga terhadap mu nak, akhirnya kamu mau menerima perjodohan ini.” tambah papa.




Tak tahu apa yang akan aku lakukan. Aku hanya bisa pasrah dengan keadaan. Anggukan berat dan sedikit senyum simpulku, mungkin dapat mewakili jawaban ku untuk sementara. Karena, semua pemberontakan-pemberontakan yang aku lakukan sejak awal, terasa percuma saja. Papa selalu mengancam ku untuk tidak membiayai hidup ku, jika aku tidak memenuhi permintaannya. Bahkan sekolah pun, mungkin aku tak akan pernah bisa mengecamnya, jika seandainya dari awal aku hanya menuruti ego ku sendiri untuk berontak dan jika aku tak memenuhi permintaan mereka pada waktu itu. Aku larut dalam kegalauan ku sendiri. Aku mencoba berpikir keras, meskipun pada waktu itu belum waktunya ku memikirkan masalah seberat ini. Berpikir antara masa depan yang cerah atau kebebasan ku sebagai manusia. Dalam kagamangan jiwa yang kacau, akhirnya aku putuskan. Aku pasrah. Aku turuti semua kehendak orang tua. Aku tak mau mengecewakan mereka. Aku ingin terus membahagiakan mereka. Meskipun nyawa dan kebahagiaan ku sebagai taruhannya untuk aku korbankan.
***
Pagi yang cerah. Tapi badan ku masih sedikit lelah. handphone-ku memerik singkat. Ada sms masuk. Kubuka. Dari Nadya, calon istri ku nanti. Dia mengingatkan ku tentang janji ku untuk memesan kartu undangan pernikahan, jam 08:00 pagi katanya, tapi dia tak bisa menemani karena ada rapat dikantornya. Ya, terima kasih. Ku balas dengan seadanya. Khekh.....sebenernya aku ingin dengan sengaja melupakan janji itu. Dengan harapan, sedikit memolor waktu pernikahan. Tapi ternyata, Nadya memang orang yang selalu prepare dan ingat dengan segala sesuatunya.
Jam 08:55 ku sampai di lokasi. Lumayan profesional tempatnya. Kantor ini besar tapi dengan interior yang minimalis. Di sudut depan, ada empat sofa sebagai tempat tunggu, dan tak jauh di seberang, ada resepsionist anggun dengan wajah yang selalu tersenyum. Aku menghampirinya.
“Selamat datang. Ada yang bisa kami bantu?” ucapnya dengan sopan.
“Ya. Saya ingin bertemu dengan Ibu Subekti. Saya Gusti, tempo hari saya sudah buat janji dengan beliau. Apa beliau ada?” tanya ku kemudian.
“Sebentar ya pak..” gadis itu sambil mengangkat gagang telefon, ku baca tanda pengenal yang melekat pada dada sebeleh kanan nya. Sherly. Tak lama kemudian,”Ya pak, bapak sudah ditunggu di ruangannya. Silahkan, disebelah sana.”
“Terima kasih”, lanjut ku sambil melangkah ke ruangan itu.

Meskipun masih pagi, Surabaya terasa begitu panas dan terik. Pendingin ruangan pun seakan tak mampu mengusir panasnya. Ku sampai di ruangan itu. Aku masuk. Ku nikmati sebentar ruangan itu, karena memang kliatannya tak ada orang sama sekali. Interiornya tak jauh berbeda dengan ruangan-ruangan sebelumnya yang sudah aku lewati. Konsep minimalis. Aku suka akan kesederhanaan. Aku suka gaya interior ini. Kemudian, wanita itu keluar dari sebuah ruangan. Toilet.

“Maaf, menunggu lama....”kata wanita itu.
“Tidak apa-apa. Maaf juga, sudah membuat Ibu menunggu lama.” Suara ku sambil menjabat tangannya.
“Tidak masalah. Saya maklum, mungkin jam segini, jalanan masih macet. Baik....bagaimana pak, kita mulai diskusi kita tentang konsep undangan yang bapak maksud kemarin........”
Bla, bla, bla, bla, bla.......

Aku berdiskusi habis-habisan dengannya. Karyanya sangat profesional. Tidak salah kalau Nadya memilih tempat ini. Tempat ini memiliki banyak pelanggan. Aku yakin, karya sebagus ini dan pelayanan seramah ini, mungkin sudah banyak pelanggan yang memesan berbagai surat undangan. Kami terus berdiskusi. Sedikit obrolan ringan juga. Tentang bagaimana hidup berumah tangga itu. Ku hormati beliau, meski ku tak suka dengan pernikahan ini, tapi kata-katanya memberi gambaran tentang suatu kehidupan baru yang akan aku lalui seminggu lagi. Terlalu lama kami mengobrol, tanpa terasa kartu nama kita telah bertukar tempat. Aku sudahi pembicaraan ini,”Baik. Terima kasih atas semuanya. Untuk selanjutnya, saya diskusikan terlebih dahulu dengan calon istri saya”,aku sambil menjabat tangannya dengan membawa beberapa contoh kartu undangan.

Aku tak tahu harus bagaimana menyikapi perasaan ku hari ini. Harus bahagiakah karena semua urusan undangan sudah selesai, hanya tinggal menunggu keputusan dari Nadya. Atau aku harus kembali tertekan dengan kenyataan bahwa ku akan segera menikah dengan nya, dengan Nadya???

Aku kearah mobil. Mencari laptop untuk segera mengirim hasilnya. Tapi mana laptop ku? Ach....mungkin aku lupa tak membawanya. Ya, ku lihat, ada warnet di sebelah kantor itu. Ku kesana sebentar. Ku buka email ku. Beres, terkirim sudah.
Nadya seorang pekerja keras. Mungkin akan lama dia membalas email-ku. Ku buka saja program chating. Khekh....sudah lama juga ku tak bermain-main dengan dunia maya ini. “Gusti”. ID tetap ku. Aku lupa dengan semua teman mayaku. Tak lama kemudian, ada yang masuk. Gayanya saja dia salah masuk nick di chat. Basa-basi sebentar.
: mas, mas yg jga warnet ne kan? Tlg print-kan file sy mas
: ko’ diem mas?
: ngawur. Slh org kalee....
: upts...sry, g sgj. Maaf ya......^_^
: enk j lgsg mnt mf!!
: ya quh hrs gmn cb?! Quh slh, y quh mnt mf....mf, quh slh org.....
................................
Bla bla bla bla......

Ach....
Basa-basi sebentar. Seperti biasa, pertanyaanku standar-standar saja. Cuma sekitar nama lengkap, umur, masih sekolah, kuliah atau dah kerja, dan yang paling penting status (udah punya pasangan belum).
GOOD!! Akhirnya, aku dapat identitas lengkapnya:

Dia Puspa Asih Karunianing Gusti, 19 f*. Masih sekolah. Di SMA 3 Jaya, kelas 3 IPA . Alamat : Jln A. Yani 1b, no:5. Status : Jomblo.

Sekarang giliran aku. Aku tulis semua tentang identitas lengkapku, sama seperti jawaban yang ia kasih buatku, tentang identitas lengkapnya. Tapi, untuk status, aku bilang, aku masih jomblo. Nomer handphone kita juga sudah bertukar tempat, dan udah aku save nomernya. Aku Off duluan setelah aku mendapatkan balasan email dari Nadya. Aku puas ngobrol dengan Puspa tentang suatu hal yang kebanyakan tak penting. Memang tak penting. Memang.
: aku Off duluan yo? masih ada janji ma temen2 buat nongkrong. Kita lanjutin bsk aja, OK?
OK! CU bsk yach????? :)

***
Di lain waktu, ketika aku di rumah ku di daerah Jember.
Aku masih tetap komunikasi dengannya, Puspa. Sering malah. Kami sedikit meluangkan waktu, bertemu meski sekedar melepas lelah di sebuah lesehan. Nadya mulai sedikit curiga dengan kebiasaan baru ku yang selalu meluangkan waktu soreku untuk nongkrong di Pujasera. Tempat jajanan terlengkap di Kota Jember.
“Mo kemana beibz?”kata Nadya. Dia baru saja masuk rumahku. Bertandang kerumah meski sebentar, sudah termasuk ritual wajibnya jika sepulang kerja. Wajahnya tampak capek dengan kegiatan di kantor, tapi hebat, dia masih terlihat cantik dan anggun.
“Beibz..., Kok diem? Mo kemana????”ulang dia.
“Ekh....ini lho, ekh....mo kluar bentar. Ke Pujasera. Ada sesuatu yang pengen ku beli. Kamu pasti capek kan? Sana gih, istirahat dulu. Oh ya, udah di tunggu mama papa di ruang tengah tuch. Aku, berangkat dulu. Assalamualaikum!”
“Ockh ya, wa’alaikumsalam. Ati-ati beibz!”(aneh, napa jadi sering ke Pujasera?). Nadya menggerutu, sambil beranjak pergi menemui mama papa di ruang tengah.
***
Dua kali sudah pertemuan kami. Aku dan Puspa. Kali ini kita lebih banyak membahas kepribadian kita masing-masing. Aku juga jadi lebih sering menelfonnya, meski sekedar ingin tahu sedang apa dia pada saat itu. Mengirim SMS, untuk sekedar mengingatkannya makan, juga istirahat. Dia romantis. Meskipun sering sikap jaimnya yang dia perlihatkan. Aku suka gaya itu. Aku suka gayanya saat memperhatikan ku. Meskipun hanya sekedar SMS, atau gaya jaimnya. Lalu, perasaan apa ini? Apa ini yang dinamakan cinta? Cinta dimana kita dibuat nyaman olehnya. Cinta dimana kita dapat mewarnai hari-hari tanpa ragu? Entahlah, karena baru dengannya, aku dapat merasakan semua yang aku ingin dan impikan selama ini. Puspa.....aku tergila akan mu. Aku jadi terpenjara dalam perhatian mu. Aku keracunan jiwa mu, terbiasa akan perhatian lebih mu. Aku kagum akan sosok mu yang dewasa meski kau hanya siswa SMA yang kebanyakan belum saatnya kau dewasa.
Puspa......mengapa semakin lama, kau semakin hangat kepada ku? Aku jadi terikat erat oleh hangat perhatian mu. Tak dapat lepas dari kebiasaan mu. Dan tak mau lepas dari kebiasaan perhatian mu itu. Tapi aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku tak banyak berbuat pada mu. Karna ada Nadya di sana. Pilihan orang tua, yang gak tak pernah bisa aku tolak kedatangannya.
***
Baik, aku memilih kamu Puspa. Tapi hanya khayalan saja, karena aku tak mungkin bisa meninggalkan Nadya. Karena jika hal itu terjadi, hancurlah aku, masa depanku. Bahkan mungkin, aku akan kehilangan mereka sebagai orang tua ku.
Aku memang egois. Aku egois!
Hari ini, tepat tanggal 04 Nov 2008, aku beranikan diri untuk ungkapkan tentang semua perasaan ku padanya. Dia diam sejenak, kami terhanyut oleh suasana yang penuh rasa berdebar. Seperti halnya menunggu bom waktu yang akan meledak di jantung kota Amerika. Hening. Sepi. Ach, dia menjawab. Dia..........Menolak. Menolak tapi dengan rasa berat. Seperti terpaksa mengeluarkan alasan, yang sebenarnya alasan itu logis, dan masuk akal. Dia.........dia takut akan orang tuanya, orang tuanya melarang dia untuk berpacaran atau bahkan hanya untuk sekedar mengenal sosok laki-laki. Dan aku, termasuk orang yang dimaksud papanya itu. Aku benci dengan keadaan seperti ini. Keadaan dimana aku kalah oleh suatu situasi dan alasan logis. Baik, aku terima alasannya. Aku beri sedikit pengertian padanya,....”Ya udah, gak pa-pa, aku ngerti posisi mu. Harusnya kita memang.....”.kata-kata ku terputus.
“.......tapi aku udah ngerasa nyaman ma kamu, Gusti...”potong Puspa.
“Trus gemana? Aku gak bisa berbuat banyak. Bener juga kata papa mu. Kamu mestinya konsen dulu dengan pelajaran mu. Apalagi, sebentar lagi kamu ujian akhir. Kamu harus lulus. Sedangkan aku?! Aku apa? Aku bukan siapa-siapa. Aku orang yang gak jelas. Aku orang yang suka hidup di dunia khayal. Kenal kamu, juga dari dunia maya. Aku gak mau kamu terbawa arus yang gak jelas gini. Ngenal dan berteman dengan ku, orang yang gak jelas. Aku gak mau kamu gak lulus cuma gara-gara aku. Dan....”kata-kata ku terpotong lagi.
“.....dan aku gak bisa Gusti???? Aku udah terbiasa ma kamu. Aku gak mau kamu pergi. Aku sayang kamu. Sekarang aku gak peduli. Mo diceramahin papa, mo backstreet, mo umur mu tinggal esok, 2jam, ato sedetik lagi. Aku dah nyaman ma kamu. Aku gak mau kamu pergi...”
“Tapi.....”aku potong ocehannya.
“....Gusti....”
Aku diam. Matanya memandang ku penuh harap dan iba. Air mata seakan tak surut dari muara itu. Aku usap air mata itu. Ku coba tenangkan hatinya. Aku tarik nafas. Aku hela panjang-panjang alur lembut kisah ini.
“Puspa.....
.......Puspa, Okey! Baik! Ya udah! Kalo gitu mau mu, OK, kita jalani saja hubungan ini. Biarkan hubungan ini mengalir sesuai dengan perasaan kita. Perasaan yang sebenarnya dan yang tak dapat kita bohongi. Sekarang, kamu harus janji, kamu harus belajar yang rajin ya sayank..... aku pengen kamu sukses".
Angguk ia perlahan "......Udah, jangan sedih lagi ya? Ayo, semangat! Buktikan ma mereka kalo kamu bisa jalani ini tanpa mengganggu konsentrasi belajar mu!"
"Puspa....aku sayank kamu.....” Peluk hangat ku sesaat untuk mengakhiri pembahasan kita.
***
Satu minggu aku dan Puspa lalui hubungan maya ini. Aku semakin gila dibuatnya. Hubungan ini tak boleh dilanjutkan. Bagaimana dengan Nadya? Bagaimana kalau semua orang tahu tentang ini? Hubungan ini tak boleh ku lanjutkan. Tapi aku juga tak bisa menutup semua perasaan ini. Aku merasa nyaman bersamanya. Bersama Puspa dunia khayal ku. Lalu Nadya? Bagaimana caranya ku perlakukan dia? Dia baik terhadap ku. Sedangkan aku?! Sampai saat inipun, ku tak ingin bersamanya. Bersama Nadya. Aku tak merasa nyaman bersamanya. Pernikahan ini hanya demi kebahagiaan orang tuaku saja. Apa yang harus aku lakukan? Egoiskah aku terhadap Puspa???
Ach....aku, aku lelah dengan hidup yang seperti ini. Siapa aku saja, ku tak tahu. Benar kata sahabat-sahabatku, kalau aku hanyalah seorang pecundang. Pecundang yang tak dapat berbuat apa-apa demi kebahagiaan hidupku sendiri. Hidupku dimonopoli oleh kedua orang tuaku sejak kecil. Sejak kecil, aku dijodohkan dengan seseorang yang tak pernah ku duga sebelumnya. Ya, Nadya. Sosok wanita karier yang dapat membius kedua orang tuaku selama ini.
***
Bulan lalu aku wisuda S1 dengan nilai cumload. Dan alhamdulilah, aku bisa diterima menjadi dosen di salah satu Universitas swasta di Malang. Awalnya, aku hanya seorang asisten dosen biasa. Dan mungkin juga karena aku termasuk warga lama di fakultas itu, akhirnya untuk dua bulan ke depan ini, aku mendapat sedikit kebijakan dari pihak fakultas, untuk mengurus semua persiapan pernikahan ku.
***
Hari ini, 11 Nov 2008 pernikahanku. Dari pagi hari, aku telah disibukkan dengan acara akad nikah. Aku semakin larut dalam kebimbangan. Aku pasrah. Aku bingung. Akhirnya, setelah beberapa hari aku berkecamuk dengan perasaan ini, aku putuskan. Dan aku putuskan untuk mengakhiri cerita maya yang kacau ini, yang ku lalui bersama Puspa. Baik!! SMS! Dan aku harus mengahiri cerita maya ini!

Aku: “Yank, q g tw hrs mlai dr mn ngmng ne ma km. Aq bingung. Aq g bs nutupi smw ni ma km. Cz kMgknN lama2 km bkl tw. Ehm...mf Puspa....jujur, sbnrx aq udah px Nadya. N parahx lg, hr ne qt nikah.”
Aku: “ Yank, mf.....aq slh. Aq dh bwt km spti ne. Dh bwt km hxut dg ksh syg yg maya ini. Yank, makasih bwt smwx y? Mkasih bwt syg mu, mskpn hanya dlm khayal. Tp aq nyaman bersama mu, cz km Puspa. Khayal ku. Aq mau, km bs mf’n aq.
Aku: “Anggp aq sm spti abang mu. Dan...”
Puspa: “Ya ya ya, ku ngerti. Hahahahaha,,,, ku suka gaya lo,,hahahahaha.ok?”
Aku: “ ..... “

Aku semakin bingung. Antara Puspa, dunia khayalku yang memberi kebahagiaan, atau Nadya masa depanku kini yang jauh memiliki rahasia kebahagiaan meski sedikit tak indah pada awalnya.

Oh Tuhan......apa keputusan ku ini sudah tepat buat semua orang? Gemana dengan perasaan Puspa saat ini? Aku tau, dia pasti sakit. Tak seharusnya aku buat dia seperti ini. Tak seharusnya juga kata-kata ku seperti itu satu minggu yang lalu. Aku tahu, jawaban Puspa itu tak keluar ikhlas dari hatinya.
“Beibz, kamu kenapa?”suara lembut Nadya menyapa.
"Okh, gak, gak pa-pa.”jawab ku.
“Sepertinya ada SMS. Dari siapa?”lanjut Nadya.
“Hm...., dari Puspa, temen SD ku dulu. Tau nech, tumben-tumbennya dia SMS.”
“Okh....... Puspa ya?! Napa kamu gak pernah cerita tentang dia beibz? Undang aja sekalian. Itung-itung reuni juga kan?”
“He.....iya, aku udah bilang ma dia. Tapi dia gak bisa. Masih sibuk ma pekerjaannya yang sekarang tuch. Ya udahlah, napa jadi bahas dia sich. Yuck, undangan udah pada nunggu kita tuch di depan.”
***
Sudah dua bulan pernikahan ku. Istriku hamil. Baru berumur satu minggu. Senang sekali rasanya bisa melihat mereka bahagia. Tak terlukiskan rasa senang mereka setelah mendengar berita ini.
---
Puspa???? Aku tak pernah lagi dengar tentangnya. Semenjak aku memutuskan hubungan dengannya, dengan Puspa. Gadis dewasa yang menemaniku selama seminggu, dalam dunia khayalku. Egoisku, aku memilih hidup bahagia bersama Nadya, yang mungkin masa depan kebahagiaan yang cerah...untuk selama-lamanya.

Hm....., walau sementara, Puspa mampu memberi arti indah dalam hidupku.

Dimana Puspa sekarang? Bagaimana kabarnya? Siapa laki-laki beruntung yang menemaninya sekarang?
***
Hari ini, entah perasaan apa yang mendorongku, hingga aku teramat sangat ingin membuka alamat email rahasia ku.
Hah!!!!!banyak email dari Puspa. Sejak itu. Sejak pernikahan ku. Ya, email ini sejak tanggal 11 November kemarin. Tanpa henti dia ungkapin perasaannya....


11 November 2008:
09.32: “Aku ini Cuma cewek bodoh, gila, idiot, munafik, dudung, mamonk, nambeng, pecicilan, suka ngelanggar, suka ngebantah omongannya ortu. Kamu tau, aku sakit. Empedu ku bengkak. Parah. Aku gak bisa lepas dari obat. Jadi, benar apa kata mu. Kita memang harus sudahi hubungan ini.”
###
13.15: “Sempet ku berpikir, dia bener. Apa yang diungkapin bener. Aku gak bisa selamanya ngrasa seseneng ini. Ku gak bisa selamanya ngejalani hubungan ini. Dia bener, kalo suatu hari, entah kapan. Aku atau kamu bakal kehilangan satu diantaranya. Sekarang dipikiran ku, Cuma takut akan kehilangan mu dan ku takut buat ninggalin kamu. Jika salah satu diantara kita gak ada. Berarti berakhir sudah hubungan ini. Kenyataan itu kejam! Pernahkah kamu memikirkannya? Gak pernah.”
###
18.30: “Aku takut. Ku takut semakin ku ikut permainan ini, semakin ku merespon, semakin ku mengikuti, semakin ku menjalani, semakin ku terbayang tentang kata-katanya, dan semakin pula ku merasa bersalah. Sampai akhirnya, semakin pula ku merasa tekut. Takut buat ninggalin kamu.”
12 November 2008
06.00: “Gak bisa aku ngerubah semuanya!!!! Ku benci mengakui??!!”
###
09.44: “Hadah,,,,apaan???!! Beugh... Teu gak seh, aku tu benci ngakui nek aku tu suka ma kamu.”
###
13.25: “Kalian tu bertahta pada tempat yang sama. Gak ada yang salah. Kamu gak pernah salah. Sebenernya aku yang salah. Aku yang buat semua bingung. Karena kalian berada di tempat yang sama dalam hidup ku. Malez ku buat semangat. Punggung ku menggila. Lupa gak minum obat.
Gak bisa ku ngilangin rasa suka ku buat kamu. Hm........andai dari awal ku gak ikut permainan ini, pasti aku gak kayak gini. Gak suka ku jujur pada mu. Tapi, ku gak bisa bohong!!!!! Ancriiittt....!!!
Yang ku tau, kau selalu sejukkan hati ku. Yang aku tau, kau selalu ada di saat ku membutuhkan mu. Kau selalu ada di saat ku rapuh,,, by: d’masiv_aku percaya kamu. Mungkin emang bener hantu mu bilang. Orang yang egois kayak aku, pengennya miliki kamu ma Guna. Tapi sebenernya aku sadar, ku Cuma bisa dapet Guna. Bukan dapet kamu. Karna kamu milik dia.”
13 November 2008:
09.25:“Maaf Gus, maafin aku dah buat kamu kayak gini. Maaf, gak maksud aku merusak hari mu. Mungkin memang bener kata mu, lebih baek kita gak usah berhubungan lagi. Meski sebenarnya ku berat, tapi ku kudu ngelakuin ini. Thanks banget dah buat aku semangat buat hidup, ngerti arti hidup, ngerasain rasa kasih bukan dari Guna, ngerasain sayang bukan buat Guna, ngerasain cuek bukan buat Guna, minum obat bukan demi Guna, nuruti omongan orang bukan karena mami ku. Makasih buat hm......seminggu ini, dah ubah aku jadi lebih nurut ma ortu, abang dan Guna. Meski itu semua Cuma demi KAMU. Thanks buat semuanya, Gusti...”
###
09.44: “Hari ini ku kontrol. Mungkin ntar pulang skul gitu. Doain ya?? Doain laporannya lulus bae’,hehehe...”
###
09.55: “Gak bisa ku..... gak bisa ku nrima kalo kamu abang ku!!!
Gak mau ku..... pokoknya ku gak mau!!! Ku gak mau kalo aku kehilangan kamu!!!
Gak mau ku..... pokoknya ku gak mau!!! Ku gak mau kalo aku kehilangan kamu!!!”
###
13.25: “Yang namanya pecundang, ya pecundang!! Gak bakal berubah!! Makasih dah ngerti aku,,,,
Makasih, kamu dah ngerti aku........dengan alamat email mu ini, yang bakal jadi kenangan terindahku, selamnya”





Kenapa ini. Ada apa dengan Puspa? Empedunya? Bengkak? Mengapa ia tak pernah bercerita tentang ini? Ach......Puspa....., maaf.........maafin aku dengan segala perbuatanku. Kau benar. Aku pecundang. Aku tak dapat berbuat apa-apa dengan keadaan yang ada. Aku pecundang. Maafin aku Puspa...., aku salah..... Tapi mengapa kau tak pernah ungkapkan penyakit mu itu? Mengapa kau tak jujur padaku? Jujur, aku tak dapat menyakiti hatimu. Puspa....kau tetap dunia khayalku yang indah...., meskipun kini aku tak bisa dan tak dapat lagi bersama mu. Khayalku.
Maafkan aku sayank.....
SELAMAT TINGGAL PUSPA.......

Senin, 22 Juni 2009

Novel: Gajah Mada

Akhir-akhir ini aku sering baca novel. Baru saja aku merampungkan novel Gajah Mada, karya Langit Kresna Hariadi. Mungkin agak telat karena novel ini sudah lama terbit dan dijual di toko-toko buku. Aku suka dengan cerita-cerita sejarah kerajaan yang didalamnya terdapat cerita tentang tokoh-tokoh jaman kerajaan dulu yang mempunyai olah kanuragan dan ilmu-ilmu yang mumpuni. Sebelum membaca Gajah Mada, aku sudah membaca cerita silat (cersil) tentang mahesa jenar dalam novel Naga Sasra Sabuk Inten karya SH Mintarja. Saking asyiknya, aku sampai lupa waktu dan tempat. hehehe..sampai kantor aku langsung buka komputer dan langsung baca Naga Sasra Sabuk Inten, beruntung waktu itu tidak banyak kerjaan. Saking menikmati dan menghayati dengan sedikit berkhayal, aku bisa mempraktekkan pada waktu mahesajenar mengeluarkan ilmu andalannya, Sasrabirawa.


Mengenai novel Gajah Mada, aku baru merampungkan Gajah Mada I. Sebelum aku membaca novel Gajah Mada, terbesit dalam pikiran kalau dalam novel ini akan bercerita tentang siapa Gajah Mada, semacam biografi gitu lah. Tapi ternyata pikiranku meleset jauh, dalam novel Gajah Mada I ini. Gajah Mada langsung diceritakan menjadi seorang ‘bekel’ di kerajaan Majapahit, tidak diceritakan dari mana asal Gajah Mada, siapa orangtuanya dan sanak saudara. Gajah Mada adalah seorang ‘bekel’ yang gagak perkasa, cerdas, tegas ,mempunyai olah kanuragan yang tinggi dan berwibawa. Dia menjadi pimpinan dari sebuah pasukan Bhayangkara, pasukan pengaman raja dan keluarganya. Inti dari novel Gajah Mada I ini adalah pemberontakan dari seorang rakrian Kuti (Ra Kuti) dan rakrian-rakrian yang lain (Ra Pangsa, Ra Banyak, Ra yuyu, Ra Tanca, dll), pemberontakan terbesar di jaman Majapahit. Ra Kuti dan teman-temannya berhasil mengambil alih istana Majapahit. Jayanegara sempat dilarikan oleh pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada, begitu pula dengan keluarga kerajaan. Dalam pemberontakan ini, banyak cerita-cerita yang menarik dan bisa buat orang penasaran dengan adanya telik sandi di kubu pemberontak dan dari pasukan Bhayangkara itu sendiri. Sangat susah aku untuk menebak, siapa telik sandi dari Bhayangkara dan dari pasukan pemberontak. Bagi yang belum membaca, novel Gajah Mada I ini sangat menarik dan layak untuk di baca. Novel Gajah Mada II sudah menunggu, beli atau pinjem lagi ? hehehe….

Naga Sasra Sabuk Inten -- Bagian 1

By : Mahesa djenar

AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang
diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu
menjadi semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu,
dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak
dengan Syeh Siti Jenar.

Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa
diselesaikan dengan pertumpahan darah.

Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo
Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini
meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh
Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan
Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan
dari Demak ke Pajang.


Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan
dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan
sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman,
sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk
menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan.

Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara
sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran
tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia
terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak
juga susut.

Hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang
tidak ada lagi persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai
pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia
bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh,
begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun
yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam
sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya
tampak bening dan lembut.

Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki
Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas
Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta
kerajaan.

Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena
persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak
berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin guru mereka
masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding
dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang
bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai
orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir.

Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang
sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala
kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan
tenaganya.

Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari
rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia
sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa
Jenar berjalan ke arah selatan dengan menanggalkan pakaian
keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari terbenam.

Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu
perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa
bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan
nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang
bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk
menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan
seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo itu.

Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena
pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi
permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan.
Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang.
Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa,
yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka,
disumpah menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang
kemudian terkenal dengan nama Candi Jonggrang.

Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu
terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah
mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini
tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar
tumbuh di sana-sini.

Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka
manusia. Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak
enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi
tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi
semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu
terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur
sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula sebuah
kerangka manusia.

Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai
beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat
menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak
tampak adanya tanda-tanda penganiayaan.

Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi
suatu upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi ia tidak tahu macam
upacara itu.

Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari
penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia
melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali
tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi
belukar. Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi
digarap.

Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih
banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki
tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat
kerajaan Prabu Baka.



Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di
dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang
terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar
mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu. Menurut
cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah hasil kerja
Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi
permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa
akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang.
Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi
candi yang ke 1.000.

Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi
yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya
gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin.
(To be continue)

Senin, 15 Juni 2009

Dilema.......

By : Gusti

aku terlanjur masuk dalam kubangannya....
Cinta....
ketika jauh, ku rasa gaung itu mampu menyentuh kalbu ku.....
meraba keluh asa ku......
dan kini ia kembali...

menawarkan sejuta cawan candu keikhlasan kasih sayang yang sempat terdunda karena ulahnya sendiri

Aku dilema,
antara ada dan tak ada....

Aku kosong....
kala ia datang dengan tulus,
ada candu lain yang menawarkan keindahan masa depan
Haruskah ku kurus terjang lawan luruh dilema lara dengan maya keindahan yang belum pasyi????
Haruskah ku kembali padanya?
Mempercayai kembali maksud hatinya????

.............
ku tulis sajak ini kala asa meninggi tebing
Kala langit membelalak lebar pada raya
kala senyum tak lagi merekah luwes dalam raga ku

Aku benci padamu,
Aku benci padamu, karna kamu tak jua luruh dalam khayal ku
Aku benci padamu, karna aku tak dapat membohongi perasaan ku,
Aku masih sayang kamu......
Entah apa yang ada padamu....
Rasa ini tak dapat hilang
bagai debu abadi di gurun pasir
bagai padang rumput liar yang selalu menggeliat gatal

..............
ku tulis sajak ini kala ku melayang jauh dalam mayaku
meringkih luruh sekujur tubuh ku

aku sayang kamu bi....
sebelum dan sesudah kau menguji kesetiaanku.....
tahukah kau tentang itu??????


Jika Tuhan menetapkan,
Aku ingin kau menjadi imam dan ayah dari anak-anak ku kelak....
Selamanya.....

Jumat, 15 Mei 2009

Alam ku..

by : Gusti


Kau rasakan.....
Maknai......
Jiwai........


Hanya ada kesejukan alam dan hati,
Jika kau adalah kau.


Dunia ini terlalu berharga untuk ditinggal,
Terlalu indah untuk dilupakan.......

Senin, 27 April 2009

Aku Tak Bisa Mencintaimu Lagi

by Nurhayati Pujiastuti


Pelan saja Bagosa menurunkan kakinya yang berada di atas sofa dengan mata tertuju ke arah Aldi. Tak ada syarat yang terlihat dari mata yang tertuju lekat-lekat pada layar televisi.Bagosa menghembuskan napasnya kuat-kuat. Berharap Aldi akan menoleh ke arahnya, dan mengangguk mengerti dengan tindakan yang baru saja ia lakukan."Kenapa?" Sebuah tanya dari Aldi menghilang begitu saja ketika suara pintu yang ditutup keras-keras seperti dibanting terdengar menandingi suara Aldi.Tak ada tanggapan dari Aldi kecuali hanya mengedikkan bahunya dan menggelengkan kepalanya."Aku mau pulang," Bagosa mendekat ke arah Aldi. Ditepiskannya jemari Aldi yang ingin menyentuh jemarinya sambil menggeleng keras-keras. "Aku mau pulang," ulangnya. Kali ini Bagosa menendang kaki Aldi sedikit keras hingga Aldi meringis dan mengalihkan tatapanya pada Bagosa."Janjimu...."Bagosa mengangguk. Menghembuskan napasnya lagi. Ah, betapa ia sudah tak kuat dengan situasi yang ada. "Aku melakukan kesalahan," bisiknya.Aldi mengernyit. "Terlalu takut.""Masalahnya...," Bagosa menggeleng. Aldi tidak akan mengerti apa yang ada di hatinya setelah tadi tatapan dari Mama Aldi mengarah padanya. Meski dengan senyum, ia tahu senyum itu keluar cuma untuk basa-basi. Ada kebencian yang tersimpan. Ada kesinisan yang memaksanya untuk mengerti isyarat tidak suka akan kehadirannya di sini.Mungkin ia yang salah. Dan bodohnya ia, kenapa tadi begitu cueknya menaikkan salah satu kakinya ke sofa meskipun dengan posisi tertekuk karena tidak tahan dengan nyamuk yang menggigit kakinya."Bodohnya...!""Tunggu sampai film ini selesai kalau kamu mau diantar pulang."Bagosa menggeleng."Tadi katanya...?""Tiba-tiba aku sakit perut."Aldi terbahak. Melihat ekspresi Aldi yang tertawa itu, sebenarnya Bagosa ingin mengikuti untuk tertawa. Biasanya juga begitu yang mereka lakukan. Tapi ia mulai mendengar suara pintu kamar tidur utama terbuka dan langkah diseret menuju ke arah Aldi. Refleks, Bagosa berpindah tempat hingga posisinya tidak berdempetan dengan Aldi."Kamu tidak ke mana-mana hari ini, kan?" tanya itu ditujukan ke arah Aldi. Cuma Aldi. Karena mata itu tidak memandang ke arah Bagosa sedikit pun. Meliriknya pun tidak."Antar Bagosa pulang, Ma. Memangnya Mama mau....""Kamu harus antar Mama jam empat nanti. Sekarang sudah jam setengah empat."Sebuah pengusiran halus yang diucapkan seperti ultimatum dengan tindakan meninggalkan Aldi dan ia kembali masuk ke dalam kamar. Lagi-lagi dengan suara pintu yang sepertinya sengaja ditutup keras-keras."Aku harus pulang," Bagosa menatap Aldi."Mama memang begitu....""Aku harus....""Jangan takut begitu, dong. Lihat, muka kamu pucat seperti habis melihat hantu. Kebiasaan jelek Mama memang begitu. Terlalu selektif memilih calon menantu," Aldi meringis. "Ujian baru dimulai. Kamu tidak berniat untuk mundur, kan?"Tak peduli dengan apa yang Aldi katakan, Bagosa cepat beranjak dari duduknya. Tak berani ia menarik tangan Aldi yang terjulur seperti minta dibantu untuk bangkit dari duduknya."Harus pamit dulu sama Mama."Kalau Bagosa menyebut nama Tuhan berkali-kali dalam hatinya saat ini, itu dikarenakan ia takut dengan apa yang akan terjadi nanti setelah Aldi mengetuk pintu kamar tidur utama."Kamu harus pulang cepat...!" Cuma itu suara yang terdengar untuk menyahuti panggilan Aldi lewat ketukan pintu. Tak ada kepala yang tersembul untuk sekedar memamerkan senyum.Bagosa mengelus dadanya.Tiba-tiba ia merasakan belum siap dengan ujian yang Aldi katakan.
***
"Kenapa menghindariku?" tanya itu meluncur ketika Bagosa baru saja mengangkat horn telepon dan mendekatkannya ke telinganya. Ada yang terasa lain ketika mendengar suara Aldi di seberang sana. "Ada acara bagus, nih. Pertunjukan wayang orang...." Aldi terbahak. Pasti tidak suka, kan?""Bicara yang jelas!" protes Bagosa dengan suara sedikit meninggi. Kepalanya pening akibat kejadian di rumah Aldi kemarin. Dan sejak kemarin itu, ia memang berniat untuk tidak menghubungi atau bertemu dengan Aldi dalam sementara waktu. Perasaan sentimen dan sensitifnya harus dihilangkan dulu."Mama memintaku...," Aldi seperti sengaja menggantung kalimatnya. "Tidak percaya, kan?"Bagosa menguap. Sengaja mengeraskan suaranya agar Aldi tahu bahwa ia tak ingin mendengar ceritanya itu."Mama memintaku mengajakmu untuk menemaninya pergi ke pesta pernikahan anak kawannya...," Aldi tertawa lagi. "Ngerti kan meski bicaraku berbelit-belit begitu?""Kamu....""Waktu pertama jadi pacarku kan aku sudah bilang bahwa kamu akan melewati berbagai macam ujian dari Mamaku yang begitu sayang dengan anak sulungnya. Dan kamu bilang setuju sambil belajar mengerti karakter orang tua Jawa seperti Mamaku. Ingat juga kan waktu kamu bilang bahwa kamu ingin sekalian menghilangkan sifat cuekmu karena terlalu lama tinggal di Jakarta.""Tapi....""Mau belajar jadi Putri Solo, kan? Please, Bagosa...."Dan entahlah, apa yang membuat Bagosa pada akhirnya menganggukkan kepala dan mengucapkan kalimat 'ya' sebagai tanda persetujuan atas ajakan Aldi.Setelah horn telepon diletakkan pada tempatnya, yang terpikirkan di kepala Bagosa cuma satu. Busana apa yang harus dikenakannya nanti agar ujian dari Mama Aldi terhadapnya berjalan lancar?
***
Pesta pernikahan itu sebenarnya meriah. Dan makanan yang dihidangkan pun menarik selera. Tapi segalanya jadi berantakan karena Bagosa tidak tertarik sama sekali akibat suasana hatinya yang tidak mendukung."Di Solo kos? Gadis-gadis Jakarta memang pemberani. Tapi kadang kurang dapat menyesuaikan diri dengan keadaan di sekeliling."Itu komentar pertama ketika Bagosa baru saja memasuki rumah Aldi. Aldi sepertinya sengaja disembunyikan hingga dikatakan anak itu sedang tidak ada di rumah."Warna pakaianmu tidak cocok untuk pesta malam ini."Komentar kedua yang masih bisa ditolerir Bagosa."Harusnya Aldi mendapatkan gadis seperti Rieke. Ingat gadis yang tadi dikenalkan, kan? Orangtuanya cukup berpendidikan dan akrab dengan keluarga kami. Tapi dasar saja Aldi yang keras kepala. Mama harus menuruti keinginannya dahulu. Yang Mama yakin cuma satu. Pada suatu saat, Aldi pasti mendapatkan gadis seperti yang Mama inginkan. Untuk sementara waktu, biar Mama yang bersabar. Baru tahun kemarin lulus SMA, tentunya agak sulit untuk memaksa menentukan gadis pilihan Mama."Komentar ketiga yang berkepanjangan yang membuat Bagosa menulikan telinganya dengan mencoba berkonsentrasi pada keadaan ramai di sekelilingnya."Lekas-lekaslah kamu mencari laki-laki lain biar Aldi tidak lagi dekat-dekat denganmu."Ada tambahan sakit hati lagi."Calon menantu? Bukan. Kebetulan sekali saja anak-anak sedang tidak ada di rumah. Jadi saya mengajak gadis ini. Katanya ingin belajar banyak tentang Solo. Gadis Jakarta. Maklum...."Tawa yang meluncur itu dengan mata yang melirik ke arah Bagosa membuat Bagosa menjadi muak.Makanan dan keramaian tidak lagi menarik perhatiannya. Ia cuma ingin cepat-cepat pulang. Ia cuma ingin cepat-cepat menumpahkan tangisnya di dalam kamarnya.
***
"Bagosa...."Masih dengan ransel di punggungnya, Bagosa jongkok di bawah pohon di halaman kampus. Seperti tidak mempedulikan kehadiran Aldi, tangan Bagosa sibuk membuka lembaran koran yang terhampar di hadapannya."Kamu marah?"Bagosa diam."Ujiannya masih banyak dan sepertinya aku sudah tidak kuat untuk bertahan."Bagosa diam."Bagosa, please...."Bagosa cuma diam. Aldi seperti cowok cengeng begitu. Wajahnya terlihat memelas ketika memandangi Bagosa. Ah, dungu sekali Bagosa bisa menambatkan hati pada cowok itu.Gara-bara bertabrakan di kantin kampus. Kebetulan Bagosa sedang sibuk memesan minuman untuk rapat organisasi dan Aldi tengah bersiap membayar makanannya.Tidak saling mengenal. Tapi swear saja, Bagosa sudah tertarik ketika melihat Aldi untuk pertama kali. Makanya acara tabrakan di kantin itu bisa jadi sarana yang menyenangkan untuk Bagosa karena bisa lebih mengenal Aldi.Sesuatu kemudian akhirnya memang berlanjut. Yakin saja bahwa cowok pendiam seperti Aldi, jatuhnya justru pada cewek-cewek seperti dirinya.Dan kenyataan itu terjadi. Tapi sayangnya, Bagosa tidak pernah memperhitungkan yang lain. Kecuekannya yang disenangi Aldi ternyata sulit untuk diterima oleh Mama Aldi."Gue udah dapat cowok Solo. Asli, lho. Kalem orangnya. Yakin deh, kalau bukan gue yang selingkuh, pasti hubungan kita akan awet selamanya," begitu sms yang Bagosa kirim untuk teman-temannya di Jakarta."Bagosa...."Sentuhan jemari Aldi pada rambut Bagosa membuat Bagosa mau tidak mau harus memperhatikan Aldi."Kamu marah?""Masalahnya....""Yang tidak cocok cuma Mama, kan? Kedua adikku justru dekat denganmu. Kitty beberapa hari belakangan ini sering menanyakan kamu. Ada konser musik grup kesayangannya yang akan tampil di GOR Manahan. Dia ingin mengajakmu.""Masalahnya....""Aku kan bisa merayu Mama."Bagosa terdiam untuk beberapa saat. Kasihan juga sebenarnya melihat wajah Aldi yang memelas. Tapi sakit di hatinya belum bisa hilang cepat. Yang ada cuma bayangan Mama Aldi dengan senyum sinis dan kalimat yang meluncur menyakitkan."Bagosa....""Tidak tertarik dekat dengan gadis-gadis yang ditawarkan Mamamu?""Kamu....""Kalau kamu tertarik, sebelum yang ada di hati semakin besar, aku bisa mundur. Masih banyak cadanganku." Sengaja kalimat itu diucapkan Bagosa. Ditambahi dengan gerakan tangan Bagosa yang melambai ke arah beberapa cowok yang melintasinya. Lalu tertawa menggoda mereka."Mungkin Mama benar...," pada akhirnya Aldi melangkah meninggalkan Bagosa tanpa menoleh lagi.Dan Bagosa tidak mengerti, ia harus tertawa atau menangis untuk saat ini.
***
Rumah besar berkesan angkuh yang terletak di jalan Slamet Riyadi itu, sebenarnya sudah ingin Bagosa tinggalkan beberapa waktu yang lalu ketika keputusasaan telah menderanya. Tekadnya sudah bulat. Ia tidak ingin terikat dengan cowok cengeng. Begitu banyak cowok yang jatuh cinta padanya, lalu kenapa ia harus bersandar pada Aldi yang berada di bawah pengaruh sangat kuat dari Mamanya?Bagosa mengusap wajahnya.Berapa lama ia tidak menjumpai Aldi? Seminggu? Dua minggu? Rasanya lebih. Dan ia tidak berniat menghitungnya karena sudah ia tanamkan dalam-dalam bahwa Aldi cuma bagian kecil dari kehidupannya di kota kecil seperti Solo."Mas Aldi tabrakan. Gara-gara Mama, sih. Sepanjang perjalanan Mama ngomel terus sama Mas Aldi. Trus, Mas Aldi jadi tidak konsentrasi. Trus...," begitu pengakuan Kitty pada Bagosa di telepon. Isak tangisnya jelas sekali membuat Bagosa yang hampir terlelap tidur jadi lantas membuka matanya lebar-lebar.Bagosa masih diam menyimak."Di rumah sakit, cuma nama Mbak Bagosa yang dipanggil-panggil. Kasihan, kan?"Dan kalimat itu menyentuh perasaan Bagosa. Tapi belum ada niat di hatinya untuk datang mengunjungi Aldi. Masalahnya, ia cuma takut Kitty berbohong karena disuruh Aldi. Masalahnya bayang-bayang Mama Aldi menghantuinya.Sebenarnya, bisa saja ia bersikap tidak peduli. Tapi itu tidak berani ia lakukan. Setahun tinggal di Solo telah mendidiknya banyak hal tentang kesopanan yang harus diikuti.Sampai, sebuah ketukan di pintu kamar kosnya mengejutkannya. Dan hampir membuat Bagosa loncat dari tempatnya berdiri."Aldi kecelakaan. Mama berharap banyak padamu...." Cuma kalimat itu yang terucap dengan airmata yang tak henti mengalir, yang pada akhirnya meruntuhkan hati Bagosa. Entah ke mana ia buang sakit hatinya pada saat itu.Dan kalau sekarang, besok maupun seterusnya Bagosa berdiri dan menjadi bagian dari rumah besar itu, jangan salahkan dirinya. Salahkan takdir yang membuatnya harus mengikuti apa yang Tuhan atur.Sebuah kesombongan barangkali harus diruntuhkan dengan peristiwa kecelakaan itu."Bagosa...."Sebenarnya Bagosa sudah mendengar bunyi derit kursi roda. Tapi Bagosa mencoba untuk tidak begitu antusias menyambutnya. Sebagian hatinya juga mendukung hal itu."Aku menunggumu sejak siang tadi. Kenapa baru datang? Banyak kuliah tambahan atau terlalu banyak teman yang mengajakmu pergi? Frans dan lainnya pasti senang ya, melihat aku jadi lumpuh begini. Dia masih mengejar-ngejar kamu, kan?"Seperti tidak peduli, Bagosa justru menghampiri rumpun melati tak jauh dari tempatnya. Beberapa bunga yang ada diambilnya dan dimasukkan ke dalam saku celana jeansnya."Mama menyuruhmu untuk menemaniku sampai malam nanti. Yang lainnya pergi. Ada buku-buku yang harus kamu bacakan untukku. Sekarang, aku lebih senang mendengar suaramu membacakan cerita untukku daripada aku membacanya sendiri."Bagosa menghembuskan napasnya. Sampai terlihat oleh matanya tirai di kamar tidur utama tersingkap dan wajah Mama terlihat memperhatikan. Tapi cepat-cepat ditutup kembali setelah mengetahui Bagosa memperhatikan hal itu."Bagosa, liburan ini kamu tidak jadi ke Jakarta, kan? Aku bisa frustasi kalau kamu pergi. Lagipula, Mama sudah merestui hubungan kita. Kata Mama, kamu sudah seperti gadis Jawa. Ah, kalau Papa masih ada, beliau pasti senang berkenalan denganmu."Bagosa menghembuskan napasnya lagi. Lagi. Kakinya bergerak mendekati Aldi dan mendorong kursi roda Aldi perlahan."Aku mencintaimu, Bagosa...."Bagosa diam. Ada yang menitik perlahan yang cepat dihapuskannya ketika mendengar suara langkah diseret menuju ke tempat ia dan Aldi berada. Mama!"Mama merestui, kan?" tanya Aldi pada Mama.Dan Bagosa melihat kepala yang mengangguk perlahan. Namun sorot matanya terlihat kaku dan masih tak bersahabat.Bagosa mengelus dadanya. Seperti mencari tahu apa yang ada di hatinya.Rasa-rasanya, tidak sebesar dulu apa yang tersimpan di hatinya untuk Aldi. Semuanya sudah berubah. Dan memang ia gadis yang cepat berubah.Bagosa menggigit bibirnya.Belum ada bayangan cowok lain memang. Tapi cinta di hatinya untuk Aldi luntur perlahan. Aldi bukan tipe seperti yang ia inginkan. Lagipula, ia bukan tipe yang diinginkan Mama Aldi."Bagosa aku mencintaimu...."Bagosa tak menjawab tapi terus mendorong kursi roda Aldi.Saat ini, hatinya merasa sunyi.Saat ini, ia seperti menjadi orang lain! ©

Cinta yang Sempat Terbagi

by Putra Gara

Ucapan salam yang disusul oleh ketukan pintu itu membangunkan Ale dari tidurnya. Ia lalu melangkah, karena suara itu amat dikenalnya.Pintu terkuak. Seorang gadis manis dengan bola mata indah berdiri di hadapan Ale.Ada senyum. "Kata Mbak Ratih, kamu tadi ke rumah?" Ale mengangguk sambil membalas senyum gadis itu."Maaf ya, Le. Ada eskul tadi di sekolah, jadinya pulang agak terlambat.""Sudahlah. Kamu masuk dulu, No. Ceritanya nanti saja di dalam." Ale melebarkan daun pintu. Retno melangkah masuk tanpa kata."Pulang sekolah, kamu langsung kemari?" tanya Ale, setelah mereka duduk.Retno mengangguk. Ia menarik napas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan. Tampak lelah, raut wajahnya. Ale memandang gadisnya itu. Saya sayang kamu, No, gumam hatinya.Ale tersenyum dan menggeleng pelan."Selesai eskul tadi, saya disuruh mengawasi anak kelas satu dan kelas dua yang lagi pada latihan paskibra. Awalnya sih saya menolak, karena saya ada janji dengan kamu. Tapi, Pak Indra mendesak saya agar mengawasi sekaligus memberi pengarahan kepada anak-anak tersebut. Beliau bilang, sayalah yang lebih mengerti tentang paskibra. Ya, sudah. Akhirnya saya nggak bisa menolak.""Saya mengerti, No," kata Ale. "Saya malah bangga kamu banyak kegiatan. Ke toko buku dan nonton, itu kan masih banyak waktu."Retno tersenyum. "Makasih, Le, kamu mau ngertiin saya."Ale balas tersenyum. Cinta memang butuh pengertian, No! batinnya. Tapi, kenapa kamu harus berduspa kepada saya? Tadi saya ke sekolah kamu, No. Hendak menjemput kamu. Nggak ada eskul, dan nggak ada latihan paskibra di sana. Kenapa kamu harus berbohong pada saya, No? Ayolah, cerita kepada saya, ada apa dengan kamu? Karena saya amat mencintai kamu."Kapan naik gunung lagi, Le?" Pertanyaan Retno membuyarkan lamunan Ale.Ale menoleh. "Mungkin liburan semester. Kuliah dan kegiatan amat menyita waktu saya," jawabnya."Nanti saya ikut lagi ya, Le," pinta Retno. "Saya sangat suka dengan suasana pegunungan. Alam hijau, sungai, dan ternak-ternak tani. Jakarta sumpek ya, Le. Polusinya sangat berbahaya."Ale tersenyum mendengar kata-kata Retno yang agak puitis itu. Ia jadi teringat kembali awal pertemuan dengan Retno.Waktu itu, Ale sedang melihat pesta seni pelajar se-DKI Jakarta di Bulungan. Ia yang sebagai wartawan lepas di sebuah majalah remaja, tertarik dengan seorang gadis yang telah memenangkan lomba baca puisi. Retno nama gadis itu.Lewat situlah akhirnya mereka jadi akrab. Ale suka main ke rumah Retno, sementara Retno sering main ke kosnya Ale. Mereka sering bertemu, sering jalan sama-sma. Akhirnya, timbul rasa suka di hati mereka masing-masing. Mereka berpacaran."Kamu masih menulis cerpen, Le?" tanya Retno."Masih." Ale tersenyum."Tapi kok sekarang saya jarang lihat. Setiap saya baca tulisan kamu, paling wawancara profil, atau liputan remaja. Kenapa, Le?"Ale kembali tersenyum. Ia amat suka dengan pertanyaan Retno itu. "Saya menulis cerpen kalau lagi ada ide. Kalau lagi suntuk, mumet, atau pusing, saja jarang bisa nulis cerpen," kata Ale."Berarti, saat ini kamu lagi suntuk, Le? Suntuk karena apa?"Ale agak gugup ditanya seperti itu. "Saya rasa, setiap penulis pasti pernah merasakan kesuntukan, No. Itu biasa. Begitu pun yang terjadi dengan saya," jawabnya, setelah diam beberapa detik.Retno memandang Ale dalam, seperti minta kebenaran dalam perkataannya.Ale cuma mengembuskan napasnya. Sebenarnya, saya suntuk karena memikirkan kamu, No. Sekarang, sepertinya kamu berubah. Kita jarang ketemu lagi. Kamu terlalu banyak alasan untuk menghindar dari saya. Bahkan tadi, kamu sudah berani berbohong kepada saya. Kenapa ini, No?!Apakah kamu sudah nggak menyukai saya lagi?! Atau kamu sudah bosan pacaran dengan saya?!
***
Diam-diam, Retno menyalahkan dirinya atas perbuatannya selama ini. Maafkan saya, Le. Akhir-akhir ini, saya sering mendustai kamu. Seharusnya, hal itu nggak pantas saya lakukan. Karena kamu begitu baik sama saya, kamu begitu mencintai dan menyayangi saya. Dan itu saya rasakan selama ini. Tapi... pantaskah saya untuk kamu cintai lagi, Le? Saya telah mendustai kamu, batin Retno.Tadi, sebenarnya Retno pergi dengan Roni. Padahal sebelumnya, ia sudah janjian dengan Ale mau nonton dan ke toko buku. Tapi pesona Roni telah membuat Retno lebih baik mengingkari janjinya dengan Ale. Apalagi Roni, sang Ketua OSIS itu begitu banyak dikagumi oleh cewek-cewek di sekolahnya.Kebanggaan?! Dapat menjadi pacar Roni memang suatu kebanggan. Tapi mendustai cinta tulus Ale, apakah suatu kebanggaan? Oh, ada sesak di dada Retno."No...," suara Ale memecah kebisuan.Retno menoleh."Kamu agak kurusan.""Benarkah?" Mata Retno begitu indah.Ale mengangguk."Mama juga bilang begitu. Saya sekarang agak kurusan. Mungkin karena saya terlalu memforsir diri dengan kegiatan sekolah ya, Le? Entahlah. Saya hanya mengikuti saran kamu, bahwa jadi remaja tuh harus kreatif. Harus dapat menggunakan waktu luang dengan berkegiatan, jangan hanya berpangku tangan.""Kamu tambah dewasa, No." Ale tersenyum. "Tapi kamu juga harus ingat, harus membatasi kegiatan kamu itu. Jangan terlalu diforsir. Nanti kamu malah jadi sakit."Retno tersenyum. "Makasih, Le. Akan saya usahakan," katanya. "O, iya, Le. Sudah sore. Saya pamit dulu, ya?" Retno bangkit.Ale melihat jam di dinding ruangan itu. "Oke, deh," balasnya."Nonton dan ke toko bukunya nanti saja ya, Le. Kamu nggak marah, kan?""Dengan datangnya kamu kemari, itu pun kamu sudah membayar janji kamu, No. Saya bahagia, karena kamu begitu memperhatikan saya."Retno tersenyum mendengar kata-kata Ale. Senyum yang menutupi sesak dadanya. Karena ia ke kosnya Ale juga hanya untuk menutupi kebohongan janjinya kepada Ale.
***
"Retno-nya pergi, Le!" Kata-kata Ratih berkelebat lagi, waktu Ale main ke rumahnya, tadi.Ale sempat tidak percaya. Karena setiap ia ingin bertemu dengan Retno, dibilangnya selalu tak ada, pergi. Apakah kebetulan, setiap kali Ale ingin bertemu dengan gadisnya itu, ditanya selalu pergi?"Suer, saya nggak bohong. Cuma saya nggak tahu, ditanya pergi ke mana," Ratih menyakinkan, waktu melihat wajah Ale yang tak percaya."Serius, Tih?" Ale tersenyum kecut.Tak menjawab, tapi Ratih mengangguk, pasti.Ada kecewa, dan tak mengerti, Ale pulang kembali."Le...," suara Ratih menghentikan langkah Ale.Ale menoleh."Saya lihat, akhir-akhir ini kamu jarang bersama Retno. Kenapa? Marahan, ya?"Ale tersenyum. "Nggak, Tih. Kebetulan saja, saya banyak kegiatan. Retno juga."Ratih cuma turut tersenyum, dan kembali memandang Ale yang pergi bersama motor trailnya.Saya rindu kamu, No. Saya kangen kamu. Adakah di hati kamu merasakan perasaan yang sama dengan saya? Ale memarkir sepeda motornya di samping swalayan.Hari Minggu yang cerah itu toko buku Gramedia Blok M begitu ramai. Ale naik eskalator ke lantai dua. Ia memang ingin mencari buku Pengantar Ilmu Komunikasi.Ale menuju rak majalah dan koran. Melihat beberapa majalah remaja. Setelah itu, ia mencari buku yang dicarinya. Tapi tiba-tiba, mata Ale milhat sosok gadis di rak buku, novel-novel remaja. Ada senyum, begitu Ale mengetahui siapa gadis itu. Ia lalu melangkah mendekati gadis itu."Retno," sapa Ale.Gadis yang disapa menoleh. "Eh, A-Ale...!"Retno tampaknya gugup begitu mengetahui yang menyapanya ternyata Ale."Saya tadi dari rumah mencari kamu. Kata Ratih, kamu pergi. Ya, sudah. Akhirnya saya kembali. Eh, nggak tahunya bakal ketemu di sini." Ale tersenyum.Retno semakin gugup, dan agak kikuk.Ale merasakan itu. "Kenapa, No?" tanyanya, heran.Retno berusaha untuk menenangkan dirinya. Ia gelisah karena di sampingnya ada Roni."Eh, i-ini. Kenalkan, teman sekolah saya." Retno memaksakan senyumnya.Roni mengulurkan tangan, dan menyebutkan namanya.Ale membalasnya."Kita, pulang, No," ajak Roni. Ada sorot mata tak suka di matanya kepada Ale.Retno semakin bingung saja mendengar ajakan Roni.Ale terpaku. Pikirannya langsung sadar dengan kegugupan Retno, sorot mata tak sukanya Roni. Inikah sebabnya kenapa kamu akhir-akhir ini selalu menghindar dari saya, No? Cowok inikah yang membuat kamu selalu mendustai saya?"Le...." Retno menjadi sangat serba salah."Pulanglah, No. Kamu pergi sama dia, pulangnya pun harus sama dia." Ale berusaha mengerti sambil memaksakan senyumnya. Meskipun hatinya saat itu terluka.Dengan rasa tak enak hati, Retno berjalan mengekor langkah Roni. Matanya tak sanggup lagi menatap atau menoleh ke arah Ale.
***
Pulang sekolah, Retno tampaknya kusut sekali."Ada apa, No?" tanya Mama.Retno memaksakan senyum. "Pusing, Ma. Habis ulangan," urainya sambil masuk kamar.Di dalam, Retno merebahkan tubuhnya. Kekesalannya yang dibawa dari sekolah langsung ditumpahkannya. Matanya memerah dan berkaca-kaca. Dadanya jadi sesak.Kamu hancurkan harapan dan hidup saya, Roni! Retno menangis. Ia kesal dengan Roni.Di sekolah tadi, waktu Retno ingin ke kantin, ia melihat Roni sedang bersama Elisa, bidadari kelas dua, adik kelasnya. Roni terlihat begitu akrab dan mesra dengan Elisa. Retno dibakar cemburu melihat itu semua. Tapi Roni tampaknya malah sengaja. Dia mencubit manja dan tertawa bersama Elisa sambil bercanda. Pulang sekolah, Retno mempertanyakan tentang itu semua."Saya nggak menyukai kamu, No. Kamu membohongi saya. Waktu kamu saya dekati, katanya kamu mengaku belum punya pacar. Seminggu yang lalu, waktu kita ke toko buku, kita bertemu dengan seseorang yang tampaknya begitu akrab dengan kamu. Saya tahu, itu pacar kamu. Teganya kamu mendustai dia. Saya berpikir, bahwa kamu nggak pantas jadi pacar saya, karena kamu amat pandai berdusta tentang cinta. Asal kamu tahu saja, No. Saya tak mau mengobral cinta saya. Saya merasa bersalah sekali dengan pacar kamu yang bertemu di toko buku itu, karena seakan merebut kamu dari sisinya. Sekarang, lupakanlah tentang kita," kata-kata Roni yang panjang itu amat menyayat di hati Retno. Sampai sekarang pun masih tersisa.Retno bangkit dari tidurnya. Memandang sebingkai foto yang ada di atas meja belajarnya. Foto berukuran kartu pos itu adalah foto Ale sewaktu di Rinjani. Retno mengusap permukaan foto itu. Maafkan saya, Le. Saya baru tahu, bahwa kamu begitu berarti dalam hidup saya. Saya ngaku salah. Sekarang, saya amat merindukan kamu. Maafkan saya, Le. Retno mengusap butiran bening di wajahnya."Retno...! No! Ada Ale," panggilan Mama mengagetkan Retno.Ale? Dada Retno berdegup kencang. Oh, kamu selalu datang saat saya rindu dan membutuhkan kamu, Le. Retno cepat-cepat membersihkan airmatanya. Ia keluar.Di ruang tamu, Retno mendapati Ale tersenyum ke arahnya."Apa kabar, No?" sapa Ale.Retno tersipu. Lalu memandang Ale dengan kerut di dahi. Pakaian yang Ale kenakan tidak seperti biasanya. "Mau ke mana kamu, Le?" tanyanya dengan gelora di dada.Ale kembali tersenyum. "Bukankah kamu pernah bilang, kalau saya naik gunung lagi, kamu akan ikut? Tadi pagi anak-anak pencinta alam di kampus saya ngajakin naik Gunung Salak di Bogor. Kamu mau ikut, No? Sekarang hari Sabtu. Naik Gunung Salak paling cuma satu hari. Hari Minggu sore kita sudah pulang. Tapi sebelumnya, kita ke perkampungan setempat dulu, karena anak-anak ada rencana bakti sosial di sana. Kalau kamu mau ikut, bawalah beberapa potong pakaian kamu yang agak lama, kemungkinan bisa dibagi-bagikan di sana. Pakaian kamu itu bisa berguna," jelas Ale.Retno tersenyum lebar. Kegembiraan di wajahnya tidak dapat ia sembunyikan. "Saya akan ikut, Le. Saya akan minta izin sama Mama. Mama pasti mengizinkan, karena ini juga masalah bakti sosial. Sebentar ya, Le. Saya salin dulu," kata Retno bersemangat.Ale memandang Retno yang masuk ke kamar dengan sejuta kebahagiaan, karena ia melihat Retno begitu ceria, tidak seperti sebulan yang lalu, yang kalau bertemu Ale tampaknya kikuk dan diam selalu. Apakah keceriaan kamu adalah kembalinya kamu untuk saya, No? Ale bertanya dalam hatinya.Beberapa saat kemudian, setelah Retno salin, mengepak ransel dan pamit kepada Mama, mereka pergi dengan motor trail Ale."Kita taruh motor dulu, No. Teman-teman menunggu di kampus." Ale melajukan sepeda motornya."Naik kereta, dong?" Retno mengencangkan pegangannya di perut Ale."He-eh." Ale mengangguk, lalu tersenyum.Motor terus melaju."Le, maafkan saya, ya? Saya telah....""Sudahlah," potong Ale. "Dengan maunya kamu ikut saya pun suatu bukti, bahwa kamu memang tetap milik saya. Setiap orang pasti pernah berbuat salah, No. Saya telah memaafkan kekhilafan kamu. Asal jangan berbuat salah kedua kalinya saja. Karena kamu pun tahu, saya amat mencintai kamu," kata Ale.Retno menggigit bibirnya. Ale begitu bijaksana, pikirnya. Ia amat menyesal, kenapa sempat membagi cintanya kepada cowok lain. Apa yang kurang pada Ale? Mandiri, berprestasi, sederhana, dan... ah, semua yang ada pada diri Ale adalah tipe cowok yang Retno suka, meskipun Ale tidak begitu tampan. Toh ketampanan belum tentu menjanjikan kebahagiaan. Sebab yang Retno tahu lewat baca, kebahagiaan itu ada karena diciptakan. Dan Retno ingin menciptakan segala kebahagiaannya bersama Ale.Mulai sekarang. ©

WAKTU NAYLA

by DJENAR MAHESA AYU

Nayla melirik arloji di tangan kanannya. Baru jam lima petang. Namun, langit begitu hitam. Matahari sudah lama tenggelam. Ia menjadi muram seperti cahaya bulan yang bersinar suram. Hatinya dirundung kecemasan. Apakah jam tangannya mati? Lalu jam berapa sebenarnya sekarang? Nayla memeriksa jam di mobilnya. Juga jam lima petang. Jam pada ponselnya pun menunjukkan jam lima petang.Ia memijit nomor satu nol tiga. Terdengar suara operator dari seberang, "Waktu menunjukkan pukul tujuh belas, nol menit, dan dua puluh tiga detik."Lalu manakah yang lebih benar. Penunjuk waktu atau gejala alam? Nayla menambah kecepatan laju mobilnya. Kemudi di tangannya terasa licin dan lembab akibat telapak tangannya yang mulai basah berkeringat.Ia harus menemukan seseorang untuk memberinya informasi waktu yang tepat. Tapi jika Nayla berhenti dan bertanya, berarti ia akan kehilangan waktu. Sementara masih begitu jauh jarak yang harus dilampaui untuk mencapai tujuan. Nayla sangat tidak ingin kehilangan waktu. Seperti juga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk melakukan banyak hal yang belum sempat ia kerjakan.Namun Nayla pada akhirnya menyerah. Ia menepi dekat segerombolan anak-anak muda yang sedang nongkrong di depan warung rokok dan menanyakan jam kepada mereka. Tapi seperti yang sudah Nayla ramalkan sebelumnya, jawaban dari mereka adalah sama, jam lima petang. Hanya ada sedikit perbedaan pada menit. Ada yang mengatakan jam lima lewat lima, jam lima lewat tiga, dan jam lima lewat tujuh.Nayla semakin menyesal telah membuang waktu untuk sebuah pertanyaan konyol yang sudah ia yakini jawabannya, yaitu jam lima petang. Berarti benar ia masih punya banyak waktu. Sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah menjadi abu.
***
Entah kapan persisnya Nayla mulai tidak bersahabat dengan waktu. Waktu bagaikan seorang pembunuh yang selalu membuntuti dan mengintai dalam kegelapan. Siap menghunuskan pisau ke dadanya yang berdebar. Debaran yang sudah pernah ia lupakan rasanya. Debaran yang satu tahun lalu menyapanya dan mengulurkan persahabatan abadi, hampir abadi, sampai ketika sang pembunuh tiba-tiba muncul dengan sebilah belati.Sebelumnya Nayla begitu akrab dengan waktu. Ketika cincin melingkar agung di jari manisnya. Ketika tendangan halus menghentak dinding perutnya. Menyusui. Memandikan bayi. Bercinta malam hari. Menyiapkan sarapan pagi-pagi sekali. Rekreasi. Mengantar anak ke sekolah. Membantu mengerjakan pekerjaan rumah. Memarahi pembantu. Membuka album foto yang berdebu. Mengiris wortel. Pergi ke dokter. Menelepon teman-teman. Berdoa di dalam kegelapan. Doa syukur atas kehidupan yang nyaris sempurna. Kehidupan yang selama ini ia idam-idamkan.Kala itu, waktu adalah pelengkap, sebuah sarana. Mempermudah kegiatannya sehari-hari. Menuntunnya menjadi roda kebahagiaan keluarga. Mengingatkan kapan saatnya menabur bunga di makam orang tua, kakek, nenek dan leluhur. Membeli hadiah Natal, ulang tahun dan hari kasih sayang. Mengirim pesan sms kepada si Pencari Nafkah supaya tidak terlambat makan. Memperkirakan lauk apa yang lebih mudah dimasak supaya tidak terlambat menjemput anak di tempat les. Bercinta berdasarkan sistem kalender, kapan sperma baik untuk dimasukkan dan kapan lebih baik dikeluarkan di luar.Waktu bukanlah sesuatu yang patut diresahkan. Karena waktu yang berjalan, hanyalah roda yang berputar tiga ribu enam ratus detik kali dua puluh empat jam. Gerakan mekanis rutinitas kehidupan. Menggelinding di atas jalan bebas hambatan. Sementara banyak yang sudah terlupakan. Suara mesin tik membahana dalam kamar yang lengang. Riuh rendah suara karyawan di kafetaria gedung perkantoran. Ngeceng di Plaza Senayan. Mengeluh bersama sahabat tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Menampar pipi laki-laki kurang ajar di diskotik. Menghapus air mata yang menitik. Melamun. Membaca stensilan. Makan nasi goreng kambing ramai-ramai dalam mobil di pinggir jalan. Masak Indomie rebus rasa kari ayam. Menatap matahari terbenam. Nonton Formula One atau Piala Dunia di Sports Bar. Menatap mata kekasih dengan berbinar-binar. Bersentuhan tangan ketika memasangkan celemek di paha kekasih dengan tangan bergetar. Menanti dering telepon dengan hati berdebar. Memilih kartu ucapan rindu yang tidak terlalu norak tanpa lebih dulu menunggu hari besar datang dengan dada berdebar. Memilih baju terbaik setiap ada janji dengan pacar dengan jantung berdebar. Menanti pujian dengan rasa berdebar. Bercinta dengan rasa, jantung, dada, hati, tangan, kaki, payudara, vagina, leher, punggung, ketiak, mata, hidung, mulut, pipi, raga, berdebar.Yang terlupakan adalah waktu yang mengalir dalam lautan debar, samudera getar, cakrawala harapan.
***
Mungkin Nayla tidak bermaksud dengan sengaja melupakan, ia hanya tidak sadar. Ia hanya pingsan keletihan dan belum jua siuman. Ia hanya terhipnotis bandul jam yang bergerak kiri kanan dan berdetak dalam keteraturan. Membuat raganya beku. Lidahnya kelu. Hatinya membatu. Imajinasinya buntu. Kadang dalam tidur imajinasinya memberontak terbang. Mengepakkan sayap bersama dengan burung-burung dan kupu-kupu. Mengendarai ikan paus di samudera lepas. Bungy jumping. Arung jeram. Baca komik Petualangan Tintin. Minum teh di atas awan sambil diskusi tentang cerpen Anton Chekov dengan almarhum ayah dan bertanya mana yang lebih mahal antara berlian dengan Fancy Diamond kepada almarhumah ibu. Menjadi Arnold Schwarzeneger dan menggagalkan aksi teroris yang hendak menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Center. Menelan biji durian. Makan rambutan. Nonton Cirque du Soleil. Nonton N'SYNC dan dipanggil ke atas panggung untuk diberi kecupan oleh Justin Timberlake. Bertinju dengan Moehammad Ali. Mengalahkan Michael Jordan. Merebut suami Victoria Beckham. Mengedit karya Gabrielle Garcia Marques. Minum sirup markisa. Baca puisi bareng Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri. Diculik UFO. Punya toko buku kecil di Taman Ismail Marzuki.Melaju kencang ke pusat getaran yang mendebarkan. Tapi mimpi juga terbatas waktu. Debaran itu mendadak buyar ketika terdengar suara ketukan pembantu di pintu luar kamar. Suara kokok ayam jantan. Kicau burung. Kemilau sinar matahari menerobos jendela. Dan suara alarm jam ketika jarum panjangnya menunjuk angka dua belas dan jarum pendeknya menunjuk angka enam. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang menyampaikan bahwa sudah terdeteksi sejenis kanker ganas pada ovariumnya. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang memvonis umur Nayla hanya akan bertahan maksimal satu tahun ke depan. Suara alarm itu, adalah suara yang sama dengan suara dokter yang mengatakan bahwa sudah tidak ada harapan untuk sembuh. Suara alarm itu, adalah suara yang menyadarkannya kembali dari pengaruh hipnotis bandul waktu masa lalu, masa kini dan masa depan.
***
Manusia sudah menerima hukuman mati tanpa pernah tahu kapan hukuman ini akan dilaksanakan. Karena itu Nayla tidak tahu mana yang lebih layak, merasa terancam atau bersyukur. Di satu sisi ia sudah tidak perlu lagi bertanya-tanya kapan eksekusi akan dilaksanakan.Tapi apakah setahun yang dokter maksudkan adalah 12 bulan, 52 minggu dan 365 hari dari sekarang? Bagaimana kalau satu tahun dimulai dari ketika kanker itu baru tumbuh. Atau satu minggu sebelum Nayla datang ke dokter. Atau mungkin benar-benar pada detik ketika dokter itu mengatakan satu tahun. Lalu berapa lamakah waktu sudah terbuang? Dari manakah Nayla harus mulai berhitung?Mata Nayla berkunang-kunang. Perutnya mulai terasa sakit seiring dengan bunyi dari segala bunyi jam, berdetak keras memekakkan telinganya. Satu, sepuluh, seratus, seribu, sepuluh ribu, seratus ribu, sejuta detik mengejar dan mengepung pendengarannya ke mana pun Nayla melangkah. Memaksa mata Nayla menyaksikan lalu lalang kaki-kaki bergegas, suara klakson dari pengendara yang tak sabaran, lonceng tanda masuk sekolah, jutaan tangan karyawan memasukkan kartu ke dalam mesin absen, aksi dorong mendorong masuk ke dalam bus, tubuh-tubuh meringkuk di atas atap kereta api, semua orang tidak mau ketinggalan.Semua orang harus tepat waktu sampai di tujuan. Semua orang tidak lagi punya kesempatan, untuk sekadar berhenti memandang embun sebelum menitik ke tanah. Matahari yang bersinar tidak terlalu cerah. Awan berbentuk mutiara, semar atau gajah. Kelopak bunga mulai merekah. Kaki anjing pincang sebelah. Semut terinjak-injak hingga lebur dengan tanah. Padi menguning di sawah. Burung bercinta di atas rumah. Semua orang melangkah bagai tidak menjejak tanah.Sejak saat itu, alarm Nayla tidak pernah berhenti berbunyi.
***
Nayla ingin menunda waktu. Nayla ingin mengulur siang hingga tidak kunjung tiba malam. Nayla ingin merampas bulan supaya matahari selalu bersinar. Nayla ingin menghantamkan palu ke arah jam hingga suara alarmnya bungkam. Nayla ingin menunda kematian. Tapi Nayla selalu terlambat. Nayla selalu berada di pihak yang lemah dan kalah akan rutinitas yang tak mau menyerah. Dan ia mulai merasa kewajibannya sebagai beban.Ia mulai cemburu pada orang-orang yang masih dapat berjalan santai sambil berpegangan tangan. Atau orang-orang yang berjemur di tepi kolam renang sambil membaca koran. Ketika, ia tergesa-gesa menyiapkan air hangat, sarapan dan seragam. Berdesakan di antara hiruk pikuk suara dan keringat dalam pasar. Memastikan pendingin ruangan belum saatnya dibersihkan. Membayar iuran telepon dan listrik bulanan. Memberi makan ikan. Memberi peringatan berkali-kali pada pembantu yang tidak juga mengerjakan perintah yang sudah diinstruksikan. Mengikuti senam seks dan kebugaran. Menjadi pendengar yang baik bagi suami yang berkeluh-kesah tentang pekerjaan. Memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dalam sebulan. Menyimpan kekecewaan ketika anak sudah tidak lagi mau mengikuti nasihat yang seharusnya diindahkan.Dan masih saja ada yang kurang. Masih ada saja yang tidak sempurna. Sarang laba-laba di atas plafon. Terlalu banyak menggunakan jasa telepon. Buah dada yang mulai mengendur. Vagina yang tidak lagi lentur. Terlalu letih hingga tidur mendengkur. Seragam sekolah yang luntur. Kurang becus mengatur keuangan. Terlalu banyak pemborosan. Kurang peka. Kurang perhatian. Kurang waktu.... Waktu.... Waktu.... Waktu.... Waktu...?!Bahkan Nayla merasa sudah tidak punya waktu untuk sekadar memanjakan perasaan. Tidak nongkrong bersama teman-teman. Tidak belanja perhiasan. Tidak pergi ke klab malam. Tidak dalam sehari membaca buku lebih dari dua puluh halaman. Tidak lagi nonton film layar lebar di studio Twenty One. Tidak lagi mengerjakan segala sesuatu yang baginya dulu merupakan kesenangan. Nayla mulai merasakan dadanya berdebar. Semangatnya bergetar.
BIODATA PENULIS
Djenar Maesa Ayu, lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Penulis perempuan ini memiliki daya magis dalam setiap karya yang dihasilkannya. Putri almarhum Arifin C. Noor, sutradara ternama Indonesia ini, merupakan salah satu sastrawan muda terbaik dan terkemuka di Indonesia. Novel maupun cerpennya selalu menghipnotis pembaca, bertema kuat, dan fenomenal. Sebut saja, 'Mereka Bilang Saya Monyet (Jangan Main-Main dengan Kelaminmu)', 'Waktu Nayla', dan masih banyak karyanya yang monumental dan sampai kini dibicarakan dalam forum sastra dalam negeri maupun luar negeri. Baginya, menulis merupakan soulmate, dan tak dapat dipisahkan dari raganya. Ia kerap mendapat penghargaan seni dan sastra, di antaranya Penulis Perempuan Terpuji dan Cerpenis Terbaik dalam Antologi Cerpen Kompas, dan lain sebagainya.
Ia ingin menampar suaminya jika membela anaknya yang kurang ajar. Ia ingin ngebut tanpa mengenakan sabuk pengaman. Ia ingin bersendawa keras-keras di depan mertua dan ipar-ipar. Ia ingin berjemur di tepi pantai dengan tubuh telanjang. Ia ingin mengatakan ia senang bercinta dengan posisi dari belakang. Ia ingin mewarnai rambutnya bak Dennis Rodman. Ia ingin berhenti minum jamu susut perut dan sari rapet. Ia ingin memelihara anjing, kucing, babi, penguin, panda dan beruang masing-masing satu pasang. Ia ingin makan soto betawi sekaligus dua mangkok besar. Ia ingin berhenti hanya makan sayur dan buah-buahan waktu malam.
***
Apa yang sedang mengkhianati dirinya hingga ia merasa sama sekali tidak bersalah atas debaran di dadanya yang begitu memukau? Apa yang sedang memberi pengakuan sehingga ia merasa begitu lama membuang-buang waktu? Apakah hidup diberikan supaya manusia tidak punya pilihan selain berbuat baik? Dan mengapa pertanyaan ini baru datang ketika sang algojo waktu sudah mengulurkan tangan? Mungkin hidup adalah ibarat mobil berisikan satu tanki penuh bahan bakar. Ketika sang pengendara sadar bahan bakarnya sudah mulai habis, ia baru mengambil keputusan perlu tidaknya pendingin digunakan, untuk memperpanjang perjalanan, untuk sampai ke tujuan yang diinginkan.Nayla memacu laju mobilnya semakin kencang. Memburu kesempatan untuk bersimpuh memohon pengampunan atas dosa-dosa yang Nayla sesali tidak sempat ia lakukan, sebelum jam tangannya berubah jadi sapu, mobil sedannya berubah jadi labu, dan dirinya berubah jadi abu. ©