Rabu, 12 Mei 2010

Jangan Pernah Berpikir Menghapus Total Perbedaan

Perbedaan di tengah umat Islam - atau biasa dikenal dengan istilah "khilafiyah" - adalah hal yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihapuskan. Perbedaan adalah hal yang wajar dan sesuai tabiat:

a. Tabiat bahasa (lughah).
Rujukan Islam adalah Al Qur-an dan As Sunnah (Hadits). Keduanya diungkapkan dengan bahasa Arab. Tabiat bahasa ada beragam makna dan pemahaman. Boleh jadi satu kalimat/ungkapan mengandung banyak makna. Dalam ilmu bahasa dikenal "makna haqiqi" dan "makna majazi", sinonim, homonim dan lain-lain. Ada makna bebas dan makna terikat, makna umum dan makna khusus. Boleh jadi satu ayat ada hadits dipahami oleh manusia secara berbeda.

b. Tabiat Agama (diin)
Perintah agama beragam dan bertingkat. Ada fardlu 'ain ada fardlu kifayah. Ada wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Ada keutamaan (fadhail) ada biasa-biasa saja. Dan rincian ajaran Islam itu teramat banyak, yang mana tidak mungkin semua orang sanggup mengambilnya secara total tanpa terlewatkan. Boleh jadi ada yang sanggup mengambil/mengamalkan banyak hal, tetapi ada jg yang hanya mampu mengambil yang wajib-wajib saja, dan demikian itu adalah sah.

c. Tabiat manusia (insan)
Manusia dicipta Allah dengan perbedaan kondisi. Akal yang diberikan juga tidak ada yang sama. Ada yang jenius, pintar, sedang, biasa-biasa saja, ada juga yang "telat mikir". Ada yang dapat memahami sesuatu dengan sekali penjelasan, ada juga yang berkali-kali dijelaskan tetap gak paham. Belum lagi latar belakang pendidikan dan keilmuan, ada yang sekolah sampai S1, S2 dan S3. Tapi ada juga yang "hanya" lulus SD, bahkan tidak sekolah dan buta huruf. Mustahil mereka memiliki cara pandang dan pemikiran yang sama. Ketika dihadapakan nash agama, pasti berbeda-beda pemahamannya.

d. Tabiat lingkungan (bi-ah)
Lingkungan juga mempengaruhi pola perilaku dan pengamalan manusia. Orang desa beda dengan orang kota. Penduduk daeragh panas beda dengan penduduk wilayah dingin. Sehingga mengamalkan Islampun berbeda-beda. Sehingga Imam Syafi'i punya fatwa-fatwa ketika beliau di Baghdad (qaul qadim), tetapi ketika pindah ke Mesir beliau merevisi sebagian fatwanya dan mengeluarkan fatwa-fatwa baru (qaul jadid) sesuai dengan kondisi Mesir.

Tatakala khalifah Ja'far Al Manshur berkehendak untuk membawa seluruh umat Islam kepada pendapat imam Malik, dengan merujuk seluruh praktek keagamaan kepada kitab yang beliau susun (Al Muwaththa), maka dengan bijak Imam Malik menolaknya, dengan mengatakan: "Sesungguhnya para sahabat sepeninggal Rasulullah telah menyebar ke berbagai pelosok negeri (dan menyebarkan Islam sesuai dengan kapasitas keilmuan masing-masing / artinya ilmunya tidak sama rata), dan setiap negeri punya ilmu, kebiasaaan dan tradisi. Jika engkau hendak memaksa mereka pada satu pendapat maka akan terjadi fitnah.

Jadi sekali lagi ikhtilaf adalah keniscayaan, gak mungkin dihilangkan. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan bijak. Jangan paksa semua orang pada satu pendapat. Kita boleh punya pendapat, komitmen dengan suatu dalil dan amalan, tapi tidak harus memaksa semua orang seperti kita.

Dan yang penting lagi, jangan memabawa setiap perbedaan kepada perbedaan aqidah. Karena akan berbahaya dan sangat besar fitnahnya manakala perbedaan fiqih, cabang/furu', sarana dan yang semisal dengan dikaitkan dan dianggap sebagai perbedaan aqidah. Karena kalau aqidah urusannnya hitam putih, iman dan kafir. Apakah kita akan dengan mudahnya melontarkan tuduhan kafir dan sesat kepada sesama muslim? Wallahu a'lam.

Disarikan dari Majmua'aturrasail.

Etika Bergaul Seorang Muslimah

Bukan dari tulang ubun ihttp://www.blogger.com/img/blank.gifa diciptakan sehingga lupa akan pujian, bukan juga dari tulang kaki karena khawatir akan diinjak dan direndahkan. Melainkan ia diciptakan dari tulang rusuk, dekat dengan dada untuk dilindungi dan dekat dengan hati untuk dicintai.


Akhwat beda dengan ikhwan. Dalam menjalankan aktivitas pun sangat berbeda. Tapi hukum syara’ memandang sejajar antara ikhwan dan akhwat. "Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan," (QS Al Isra ; 70)

Karena saya akhwat, pastinya saya akan membahas aktivitas akhwat batasannya seperti apa saja. Kadang, jika saya melihat dan menilai, secara tidak sengaja telah terjadi pelanggaran hukum syara'. Biasanya, di kalangan akhwat terjadi pelanggaran hukum syara’ dalam konteks ijtima’l atau pergaualan dengan lawan jenis. karena mereka belum memahami aktivitas mana saja yang termasuk hayatul khas dan hayatul ‘aam. Di kalangan ikhwan pun terkadang ada pelanggaran hukum syara’ karena sikap yang kurang tegas dan kurang mengetahui batasan aktivitas akhwat itu seperti apa saja, dalam konteks hubungan demi maslahat masing-masing yang sesuai dengan hukum syara’ dan selanjutnya karena godaan Syetan..

Apa yang akan saya paparkan adalah aktivitas akhwat dalam konteks hubungan interpersonal dengan ikhwan / ijtima’I:

1.Hayatul ‘Aam

Hayatul ‘aam atau kehidupan umum bagi akhwat adalah seputar kehidupan yang menyangkut perkara pendidikan, mu’amalah, kesehatan. Hayatul ‘aam, bagi akhwat, maknanya bahwa ia boleh bercerita tentang ketiga perkara tadi, selebihnya tidak boleh karena sudah menyangkut hayatul khas..

Bagi ikhwan manapun hanya cukup untuk mengetahui ”hayatul ’aam” kehidupan umum-nya saja, seperti contoh diatas ; pendidikan, tempat tinggal, hobi, aktivitas di lembaga dll. Sedangkan hayatul khas, sudah sangat privasi sekali yang menyangkut kehidupan pribadi (keadaan keluarga, keadaan dirinya) di luar itu konteksnya sudah hayatul khas.

Bagi akhwat tidak boleh menceritakan hal-hal pribadi pada ajnaby (orang asing). Akhwat boleh menceritakan hal-hal terkait pribadinya jika ia telah dikhitbah untuk lanjut ke jenjang pernikahan.

Dan ketika berinteraksi dengan lawan jenis akhwat diharapkan bertindak dan berbicara seperlunya saja, tegas dan jelas. Dalam aktivitas yang berkaitan dengan lawan jenis, seorang akhwat seringkali mudah melakukan pelanggaran. Mungkin karena secara psikologis akhwat memiliki karater ingin diperhatikan atau malah kadang cari perhatian agar bisa berinteraksi dengan lawan jenis, apalagi kalau sudah menyangkut "masalah hati."

Tapi berinteraksi dengan ikhwan dalam konteks mendiskusikan ilmu, menurut saya ini dibolehkan, tapi, ada beberapa hal kita sendiri bisa menjaminnya sesuai dengan perkataan Rasulullah Saw, "Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka bertindaklah sesuka kalian."

Yang dimaksud hal-hal yang kita harus bisa menjaminnya adalah kemungkinan timbulnya fitnah. Mungkin kita bisa berdalih dengan mengatakan "Saya dengan dia cuma teman, hanya sebatas sharing ilmu." Tapi saya berpendapat sebaiknya dicari "aman" nya saja, karena fitnah itu diibaratkan mencemarkan dan menjatuhkan kehormatan seorang akhwat dan manjaga ’iffah / kehormatan itu wajib hukumnya.

Mubah hukumnya untuk berinteraksi dengan ikhwan dalam masalah ilmu, kareka khawatir seorang akhwat akan menceritakan sesuatu yang masuk dalam wilayah khas, sehingga yang mubah menjerumuskan ke haram.

Bagaimana dengan diskusi di forum internet atau milis? Menurut saya, dalam wilayah ini sifatnya lebih 'aam karena diketahui banyak orang pembahasannya pun seputar perkara yang dibolehkan. Dalam hal ini saya ingin mengutip perkataan Abu Bakar, "Berhati-hatilah dalam bertindak karena dari hati-hati tadi memberikan manfaat bagimu."

2.Hayatul khas

Hayatul khas atau kehidupan khusus adalah perkara seputar pribadi dan ini hanya boleh di ketahui oleh keluarga ‘mahram’ dan sesama kaum perempuan dalam lingkungan kita. Contohnya, menceritakan keadaan dirinya dan keluarganya, target hidup, target dakwah dll. secara detil, kecuali seorang akhwat sudah dikhitbah.

Seorang ikhwan yang faham akan apa arti kehormatan bagi seorang akhwat pasti maklum atas sikap tegasn seorang akhwat dan tidak dimaknai sebagai sikap jaim (jaga image) atau jutek, terlalu saklek atau apalah namanya. Tegas bukan berarti memaksa agar pandangannya di terima atau egois tapi demi menjaga kehormatan.

Intinya, dalam hal ini sangat dibutuhkan ketegasan dari masing-masing pihak, baik maupun akhwat untuk menjaga 'iffahnya masing-masing. Rasulullah Saw bersabda, "Sesungguhnya perkara halal itu jelas, dan perkara haram itu jelas; serta di antara keduanya terdapat perkara mutasyabihat yang kebanyakan orang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjauhi syubhat, sungguh ia telah terbebas dari dosa, dalam agama dan kehormatannya. sebaliknya, siapa yang terjerumus pada perkara syubhat berarti ia telah terjerumus dalam perkara haram," (HR. Imam Bukhari, Muslim dan ashabun Sunan)

Rabbanaghfirlanaa dzunuubanaa isyraafanaa fii amrina. Wallahu’alam.

Penulis: Shinta Mardhiah Alhimjarry, Bandung
syi_khilafah@yahoo.co.id

http://www.eramuslim.com/
Kamis, 22/04/2010 14:47 WIB