Senin, 22 Juni 2009

Naga Sasra Sabuk Inten -- Bagian 1

By : Mahesa djenar

AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang
diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu
menjadi semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu,
dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak
dengan Syeh Siti Jenar.

Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa
diselesaikan dengan pertumpahan darah.

Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo
Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini
meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh
Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan
Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan
dari Demak ke Pajang.


Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan
dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan
sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman,
sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk
menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan.

Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara
sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran
tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia
terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak
juga susut.

Hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang
tidak ada lagi persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai
pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia
bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh,
begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun
yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam
sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya
tampak bening dan lembut.

Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki
Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas
Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta
kerajaan.

Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena
persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak
berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin guru mereka
masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding
dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang
bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai
orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir.

Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang
sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala
kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan
tenaganya.

Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari
rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia
sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa
Jenar berjalan ke arah selatan dengan menanggalkan pakaian
keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari terbenam.

Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu
perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa
bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan
nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang
bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk
menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan
seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo itu.

Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena
pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi
permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan.
Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang.
Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa,
yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka,
disumpah menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang
kemudian terkenal dengan nama Candi Jonggrang.

Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu
terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah
mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini
tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar
tumbuh di sana-sini.

Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka
manusia. Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak
enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi
tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi
semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu
terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur
sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula sebuah
kerangka manusia.

Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai
beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat
menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak
tampak adanya tanda-tanda penganiayaan.

Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi
suatu upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi ia tidak tahu macam
upacara itu.

Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari
penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia
melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali
tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi
belukar. Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi
digarap.

Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih
banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki
tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat
kerajaan Prabu Baka.



Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di
dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang
terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar
mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu. Menurut
cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah hasil kerja
Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi
permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa
akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang.
Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi
candi yang ke 1.000.

Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi
yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya
gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin.
(To be continue)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Cerah sang masa depan karena komentar, jadi........kasih masukan ya?????