Senin, 22 Juni 2009

Novel: Gajah Mada

Akhir-akhir ini aku sering baca novel. Baru saja aku merampungkan novel Gajah Mada, karya Langit Kresna Hariadi. Mungkin agak telat karena novel ini sudah lama terbit dan dijual di toko-toko buku. Aku suka dengan cerita-cerita sejarah kerajaan yang didalamnya terdapat cerita tentang tokoh-tokoh jaman kerajaan dulu yang mempunyai olah kanuragan dan ilmu-ilmu yang mumpuni. Sebelum membaca Gajah Mada, aku sudah membaca cerita silat (cersil) tentang mahesa jenar dalam novel Naga Sasra Sabuk Inten karya SH Mintarja. Saking asyiknya, aku sampai lupa waktu dan tempat. hehehe..sampai kantor aku langsung buka komputer dan langsung baca Naga Sasra Sabuk Inten, beruntung waktu itu tidak banyak kerjaan. Saking menikmati dan menghayati dengan sedikit berkhayal, aku bisa mempraktekkan pada waktu mahesajenar mengeluarkan ilmu andalannya, Sasrabirawa.


Mengenai novel Gajah Mada, aku baru merampungkan Gajah Mada I. Sebelum aku membaca novel Gajah Mada, terbesit dalam pikiran kalau dalam novel ini akan bercerita tentang siapa Gajah Mada, semacam biografi gitu lah. Tapi ternyata pikiranku meleset jauh, dalam novel Gajah Mada I ini. Gajah Mada langsung diceritakan menjadi seorang ‘bekel’ di kerajaan Majapahit, tidak diceritakan dari mana asal Gajah Mada, siapa orangtuanya dan sanak saudara. Gajah Mada adalah seorang ‘bekel’ yang gagak perkasa, cerdas, tegas ,mempunyai olah kanuragan yang tinggi dan berwibawa. Dia menjadi pimpinan dari sebuah pasukan Bhayangkara, pasukan pengaman raja dan keluarganya. Inti dari novel Gajah Mada I ini adalah pemberontakan dari seorang rakrian Kuti (Ra Kuti) dan rakrian-rakrian yang lain (Ra Pangsa, Ra Banyak, Ra yuyu, Ra Tanca, dll), pemberontakan terbesar di jaman Majapahit. Ra Kuti dan teman-temannya berhasil mengambil alih istana Majapahit. Jayanegara sempat dilarikan oleh pasukan Bhayangkara pimpinan Gajah Mada, begitu pula dengan keluarga kerajaan. Dalam pemberontakan ini, banyak cerita-cerita yang menarik dan bisa buat orang penasaran dengan adanya telik sandi di kubu pemberontak dan dari pasukan Bhayangkara itu sendiri. Sangat susah aku untuk menebak, siapa telik sandi dari Bhayangkara dan dari pasukan pemberontak. Bagi yang belum membaca, novel Gajah Mada I ini sangat menarik dan layak untuk di baca. Novel Gajah Mada II sudah menunggu, beli atau pinjem lagi ? hehehe….

Naga Sasra Sabuk Inten -- Bagian 1

By : Mahesa djenar

AWAN yang hitam pekat bergulung-gulung di langit seperti lumpur yang
diaduk dan kemudian dihanyutkan oleh banjir, sehingga malam gelap itu
menjadi semakin hitam. Sehitam suasana Kerajaan Demak pada waktu itu,
dimana terjadi perebutan pengaruh antara Wali pendukung kerajaan Demak
dengan Syeh Siti Jenar.

Pertentangan itu sedemikian meruncingnya sehingga terpaksa
diselesaikan dengan pertumpahan darah.

Syeh Siti Jenar dilenyapkan. Disusul dengan terbunuhnya Ki Kebo
Kenanga yang juga disebut Ki Ageng Pengging. Ki Kebo Kenanga ini
meninggalkan seorang putra bernama Mas Karebet. Karena dibesarkan oleh
Nyai Ageng Tingkir, kemudian Mas Karebet juga disebut Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir inilah yang kemudian akan menjadi raja, menggantikan
Sultan Trenggana. Jaka Tingkir pula yang memindahkan pusat kerajaan
dari Demak ke Pajang.


Pada masa yang demikian, tersebutlah seorang saudara muda seperguruan
dari Ki Ageng Pengging yang bernama Mahesa Jenar. Karena keadaan
sangat memaksa, Jaka Tingkir pergi meninggalkan kampung halaman,
sawah, ladang, serta wajah-wajah yang dicintainya. Ia merantau, untuk
menghindarkan diri dari hal-hal yang tak diinginkan.

Telah bertahun-tahun Mahesa Jenar mengabdikan dirinya kepada Negara
sebagai seorang prajurit. Tetapi karena masalah perbedaan ajaran
tentang kepercayaan, yang telah menimbulkan beberapa korban, ia
terpaksa mengundurkan diri, meskipun kesetiannya kepada Demak tidak
juga susut.

Hanya dengan bekal kepercayaan kepada diri sendiri serta kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, Mahesa Jenar mencari daerah baru yang
tidak ada lagi persoalan mereka yang berbeda pendapat mengenai
pelaksanaan ibadah untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pilihan, pengawal raja. Ia
bertubuh tegap kekar, berdada bidang. Sepasang tangannya amat kokoh,
begitu mahir mempermainkan segala macam senjata, bahkan benda apapun
yang dipegangnya. Sepasang matanya yang dalam memancar dengan tajam
sebagai pernyataan keteguhan hatinya, tetapi keseluruhan wajahnya
tampak bening dan lembut.

Ia adalah kawan bermain Ki Ageng Sela pada masa kanak-kanaknya. Ki
Ageng Sela inilah yang kemudian menjadi salah seorang guru dari Mas
Karebet, yang juga disebut Jaka Tingkir, sebelum menduduki tahta
kerajaan.

Meskipun mereka bukan berasal dari satu perguruan, tetapi karena
persahabatan mereka yang karib, maka seringkali mereka berdua tampak
berlatih bersama. Saling memberi dan menerima atas izin guru mereka
masing-masing. Gerak Mahesa Jenar sedikit kalah cekatan dibanding
dengan Sela yang menurut cerita adalah cucu seorang bidadari yang
bernama Nawangwulan. Betapa gesitnya tangan Ki Ageng Sela, sampai
orang percaya bahwa ia mampu menangkap petir.

Tetapi Mahesa Jenar lebih tangguh dan kuat. Dengan gerak yang
sederhana, apabila dikehendaki ia mampu membelah batu sebesar kepala
kerbau dengan tangannya. Apalagi kalau ia sengaja memusatkan
tenaganya.

Pada malam yang kelam itu Mahesa Jenar mulai dengan perjalanannya dari
rumah almarhum kakak seperguruannya, Ki Kebo Kenanga di Pengging. Ia
sengaja menghindarkan diri dari pengamatan orang. Mula-mula Mahesa
Jenar berjalan ke arah selatan dengan menanggalkan pakaian
keprajuritan, dan kemudian membelok ke arah matahari terbenam.

Setelah beberapa hari berjalan, sampailah Mahesa Jenar di suatu
perbukitan yang terkenal sebagai bekas kerajaan seorang raksasa
bernama Prabu Baka, sehingga perbukitan itu kemudian dikenal dengan
nama Pegunungan Baka. Salah satu puncak dari perbukitan ini, yang
bernama Gunung Ijo, adalah daerah yang sering dikunjungi orang untuk
menyepi. Di sinilah dahulu Prabu Baka bertapa sampai diketemukan
seorang gadis yang tersesat ke puncak Gunung Ijo itu.

Mula-mula gadis itu akan dimakannya, tetapi niat itu diurungkan karena
pesona kecantikannya. Bahkan gadis itu kemudian diambilnya menjadi
permaisuri, ketika ia kemudian dapat menguasai kerajaan Prambanan.
Gadis cantik itulah yang kemudian dikenal dengan nama Roro Jonggrang.
Dan karena kecantikannya pula Roro Jonggrang oleh Bandung Bandawasa,
yang juga ingin memperistrinya setelah berhasil membunuh Prabu Baka,
disumpah menjadi patung batu. Candi tempat patung itu lah yang
kemudian terkenal dengan nama Candi Jonggrang.

Tetapi pada saat Mahesa Jenar menginjakkan kakinya di puncak bukit itu
terasalah sesuatu yang tak wajar. Beberapa waktu yang lalu ia pernah
mengunjungi daerah ini. Tetapi sekarang alangkah bedanya. Tempat ini
tidak lagi sebersih beberapa waktu berselang. Rumput-rumput liar
tumbuh di sana-sini.

Dan yang lebih mengejutkannya lagi, adalah ketika dilihatnya kerangka
manusia. Melihat kerangka manusia itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak
enak. Ia menjadi sangat berhati-hati karenanya. Tetapi ia menjadi
tertarik untuk mengetahui keadaan di sekitar tempat itu. Ia menjadi
semakin tertarik lagi ketika dilihatnya tidak jauh dari tempat itu
terdapat beberapa macam benda alat minum dan batu-batu yang diatur
sebagai sebuah tempat pemujaan. Dan di atasnya terdapat pula sebuah
kerangka manusia.

Mahesa Jenar pernah belajar dalam pelajaran tata berkelahi mengenai
beberapa hal tentang tubuh manusia. Itulah sebabnya maka ia dapat
menduga bahwa rangka-rangka itu adalah rangka perempuan yang tidak
tampak adanya tanda-tanda penganiayaan.

Cepat ia dapat menebak, bahwa beberapa waktu berselang telah terjadi
suatu upacara aneh di atas bukit ini. Tetapi ia tidak tahu macam
upacara itu.

Untuk mengetahui hal itu, ia mengharap mendapat keterangan dari
penduduk sekitarnya. Tetapi Mahesa Jenar menjadi kecewa ketika ia
melayangkan pandangannya ke sekitar bukit itu. Tadi ia sama sekali
tidak memperhatikan bahwa tanah-tanah pategalan telah berubah menjadi
belukar. Agaknya sudah beberapa waktu tanah-tanah itu tidak lagi
digarap.

Ketika ia sudah tidak mungkin lagi untuk mendapatkan keterangan lebih
banyak lagi tentang kerangka-kerangka tersebut, maka dengan
pertanyaan-pertanyaan yang berputar-putar dikepalanya, Mahesa Jenar
melanjutkan perjalanannya ke barat, menuruni lembah dan mendaki
tebing-tebing perbukitan sehingga sampailah ia di atas puncak pusat
kerajaan Prabu Baka.



Dari atas bukit itu Mahesa Jenar melayangkan pandangannya jauh di
dataran sekitarnya. Di sebelah utara tampaklah kumpulan candi yang
terkenal itu, yaitu Candi Jonggrang. Sempat juga Mahesa Jenar
mengagumi karya yang telah menghasilkan candi-candi itu. Menurut
cerita, candi-candi yang berjumlah 1.000 itu adalah hasil kerja
Bandung Bandawasa hanya dalam satu malam saja, untuk memenuhi
permintaan Roro Jonggrang. Tetapi ketika ternyata Bandung Bandawasa
akan dapat memenuhi permintaan itu, Roro Jonggrang berbuat curang.
Maka marahlah Bandung Bandawasa. Jonggrang disumpah sehingga menjadi
candi yang ke 1.000.

Candi itu dikitari oleh persawahan yang ditumbuhi batang-batang padi
yang sedang menghijau. Daun-daunnya mengombak seperti mengalirnya
gelombang-gelombang kecil di pantai karena permainan angin.
(To be continue)

Senin, 15 Juni 2009

Dilema.......

By : Gusti

aku terlanjur masuk dalam kubangannya....
Cinta....
ketika jauh, ku rasa gaung itu mampu menyentuh kalbu ku.....
meraba keluh asa ku......
dan kini ia kembali...

menawarkan sejuta cawan candu keikhlasan kasih sayang yang sempat terdunda karena ulahnya sendiri

Aku dilema,
antara ada dan tak ada....

Aku kosong....
kala ia datang dengan tulus,
ada candu lain yang menawarkan keindahan masa depan
Haruskah ku kurus terjang lawan luruh dilema lara dengan maya keindahan yang belum pasyi????
Haruskah ku kembali padanya?
Mempercayai kembali maksud hatinya????

.............
ku tulis sajak ini kala asa meninggi tebing
Kala langit membelalak lebar pada raya
kala senyum tak lagi merekah luwes dalam raga ku

Aku benci padamu,
Aku benci padamu, karna kamu tak jua luruh dalam khayal ku
Aku benci padamu, karna aku tak dapat membohongi perasaan ku,
Aku masih sayang kamu......
Entah apa yang ada padamu....
Rasa ini tak dapat hilang
bagai debu abadi di gurun pasir
bagai padang rumput liar yang selalu menggeliat gatal

..............
ku tulis sajak ini kala ku melayang jauh dalam mayaku
meringkih luruh sekujur tubuh ku

aku sayang kamu bi....
sebelum dan sesudah kau menguji kesetiaanku.....
tahukah kau tentang itu??????


Jika Tuhan menetapkan,
Aku ingin kau menjadi imam dan ayah dari anak-anak ku kelak....
Selamanya.....