Selasa, 12 Januari 2010

Raya

CERITA RAYA

Lekang waktu dalam kerendahan alam memucuk dedaunan. Menjadi akar akan jati diri. Membuat ranting pada kesabaran. Lalu memuntahkannya dalam bentuk buah segar yang disebut kebaikan.
Aku Raya. Raya Wahyuningtyas, umur 21th. Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku cowok, umur 16 th. Ini sedikit ceritaku yang sempat aku buat dan tiba-tiba menghilang. Gini ceritanya, aku cucu nomor dua dari Sembilan cucu yang ada. Kalo kalian anggap aku adalah cucu yang sangat beruntung, hmm…kalian salah!




Aku dilahirkan dalam keluarga sederhana, kehidupan sederhana, dan cita-cita yang sederhana. Beda halnya dengan sodara-sodaraku yang lain. Mereka bisa membeli ini itu tanpa memikirkan manfaat selanjutnya. Mereka hidup mewah. Mulai dari baju, aksesoris, makanan, dsb. Sedangkan aku, aku hanya hidup dalam sebuah bantalan tempe tahu saja. Tidak mewah memang, tapi aku sangat bersyukur akan hal itu. Aku bersyukur karena aku dilahirkan dalam keluarga yang harmonis, sederhana dan meskipun selalu kurang di mata keluarga besar.

Bagaimana tidak. Semua yang kami (ayah, ibu, adik dan aku) lakukan, selalu saja kurang dan salah di hadapan keluarga besar. Padahal, kami tidak pernah mengabaikan perintah dari ratu dan raja senja kami. Ayah menggembala kuda, mengurus dan membiayai para ponakan hingga menikah. Tapi selalu saja kami masih kurang di mata mereka. Seenaknya saja merendahkan kami, menyalahkan kami.

Aku memang tak secantik para cucu yang lainnya. Aku memang tak sepintar para cucu yang lainnya. Aku memang, accchhhhhh……., entahlah. Aku memang selalu kurang di mata mereka.
Satu kata yang masih membuat aku sakit akan itu, mereka bilang; anak GURU sepertiku ini tak pantas untuk disanding oleh pekerja mapan. GURU ya hanya GURU. Tidak lebih.
Khakhh! Kata-kata itu membuatku lemah. Sesaat. Memandang bulan pun, terasa sesak.
Inikah yang dimaksud dengan kekalahan? Kalah dengan semua kebaikan yang telah dicipta? Atau kalah karena susu dibalas dengan air tuba?

Aku tak mengerti tujuan mereka selalu merendahkanku. Meremehkanku. Menginjak-injak harga diriku. Mereka tak pernah berpkir, kalau masih ada TUHAN di atas sana yang berkuasa atas segala hal. Masih ada DIA dengan segala keajaibannya untuk aku dan kehidupanku. Lalu, bagaimana kalau seandainya aku ditakdirkan menjadi seorang istri dari seseorang yang jauh lebih mapan dan sukses dari yang mereka sumpahkan itu? Apa yang akan mereka perbuat? Menghancurkan ku? Terus, bagaimana kalau seandainya aku lebih sukses dari mereka? Karierku? Pekerjaanku? Masihkah tersisa kata “sayang” dari mereka? Masihkah ada belaian lembut dari sebuah keluarga besar?

Atau, apa aku harus terus merendah dihadapan mereka? Membiarkan mereka selalu meremehkan kerendahanku? Menolak untuk disanding seorang yang mapan karena mereka?
Accchhhh……, aku hanya ingin aku. Aku hanya ingin menjadi orang sukses di dunia dan akhirat nanti. Aku ingin mempunyai kehidupan yang lebih layak. Memiliki semua rasa sayang yang tulus. Dicintai, mencintai…..
Aku hanya ingin menjadi GURU, seorang dosen, dekan, dan rector nantinya. Aku hanya ingin memiliki seorang suami yang mapan, dan bisa menjadi imam dalam keluarga kecilku kelak. Aku hanya ingin membuktikan pada mereka, AKU BISA JAUH LEBIH BAIK DARI MEREKA. JAUH LEBIH SUKSES DARI MEREKA. Dan akhirnya, aku kembali rindu akan kasih sayang itu….


Aku ingin dia yang mapan….
Aku ingin dia….
Imamku….
Menunjukkan jalan terbaik untuk anak dan cucuku kelak….
Aku inginkan itu…..
Lalu dimana dia? Dan kapan dia datang untuk menjemputku?
DISINI, AKU AKAN SELALU SETIA UNTUK MENUNGGUNYA. MEMBERI DIA MADU, DARI LEBAH TERBAIKKU. SATU. SELAMANYA…..